RESUME
ISLAM POLITIK DI DUNIA KONTEMPORER
KONSEP, GENEALOGI, DAN TEORI
Thibburruhany
Pendahuluan
Buku berjudul Islam Politik di Dunia
Kontemporer; Konsep, Genealogi, dan Teori karya Noorhaidi Hasan ini dilatar
belakangi dari perhatian para pengamat dan masyarakat Dunia terhadap Islam setelah
peristiwa hancurnya menara WTC pada 11 September 2001. Perhatian ini terpusat
pada Islam politik, sebuah konsep yang lebih dulu berkembang di kalangan para
sarjana dan pemerhati dunia Islam menyusul pecahnya revolusi Iran 1979. Namun
belakangan konsep Islam politik ini belum menemukan rumusan dan definisi yang
jelas menyusul berbagai perdebatan dari berbagai kalangan sebab setiap sarjana,
pengamat, ataupun pengambil kebijakan memiliki pemahaman yang berbeda-beda
tentang Islam politik, seturut disiplin keilmuwan, pendekatan yang digunakan,
dan kepentingan mereka masing-masing. Buku ini dimaksudkan untuk menjadi
referensi yang memadai sekaligus sebuah upaya untuk dapat memahami fenomena ini
secara lebih jernih dan komperhensif. Fenomena Islam politik dalam dunia
kontemporer dalam buku ini diawali dengan pembahasan mengenai definisi dan
konsep Islam Politik. Lalu dalam bab-bab selanjutnya secara berurutan membahas
mengenai, genealogi islam politik, ideologi islam politik, sosiologi islam
politik, teori gerakan sosial dan analisis wacana kritis, serta terakhir adalah
milisia islamis, demokrasi, dan multikulturalisme pengalaman Indonesia.
Definisi
dan Konsep Islam Politik
Sebagaimana disebutkan dalam bab
sebelumnya bahwa upaya pendefinisian dan parameter apa yang bisa digunakan
untuk mengkategorisasikan sesuatu sebagai Islam politik selalu berujung pada
perdebatan dari berbagai kalangan. Berbagai pendapat mengemuka dari yang
bernada positif, negatif, sampai peyoratif terhadap pemakaian istilah Islam
Politik. Gilles Keppel
mendefiniskan Islam politik sebagai gejala sosial-politik di berbagai belahan
dunia yang berkaitan dengan aktivitas kelompok individu Muslim yang bergerak
berdasarkan landasan ideologi yang diyakini bersama. Oliver Roy mengajukan
definisi serupa meski dalam hal ini ia menggaris bawahi tentang terwujudnya ‘Negara
Islam’. Nazih Ayyubi menganggap bahwa Islam politik merupakan fenomena yang
berkaitan dengan doktrin dan atau gerakan yang meyakini Islam memiliki teori
politik dan negara. Dimana Islam kontemporer berkembang sebagai konsekuensi
persinggungan antara agama dan politik. Sekaligus menunjukkan nuansa aktivisme
yang bertujuan mendorong terjadinya perubahan. Islam ditegaskan bukan sekedar
agama, namun juga sebagai ideologi politik. Islam politik adalah sebuah istilah
yang dapat digunakan untuk menggambarkan gejala politik keagamaan kontemporer
di kalangan masyarakat Muslim yang mengambil beragam bentuk, dari pemikiran,
wacana, aksi dampai gerakan yang semuanya itu didasari oleh sebuah ideologi
yang bertujuan mengubah sistem yang berlaku menjadi sistem Islami.
Sebagai gelaja modern yang
memperlihatkan persinggungan antara agama dan politik berhadapan dengan arus
perubahan sosial, Islam politik melahirkan berbagai varian pemikiran, aksi dan
gerakan. Di dalam islam politik melekat visi tentang perubahan terhadap sistem
yang berlaku baik secara perlahan-lahan dan parsial maupun serta-merta dan
radikal. Dari sinilah lahir radikalisme Islam dimana ia memiliki dua ciri
terpenting yaitu, visi tentang tatanan politik Islam yang menolak legitimasi
negara-bangsa berdaulat modern dan berupaya mendirikan pemerintahan pan-Islam
ataupun merevitalisasi sistem kekhalifahan. Serta penekanan terhadap perjuangan
kekerasan (jihad) sebagai metode utama dan bahkan satu-satunya yang dianggap
sah untuk mewujudkan perubahan politik. Dengan demikian ukuran radikalisme
terletak dalam kecenderungan mengupayakan perubahan sistem yang ada dengan
menggunakan kekerasan. Radikalisme yang dipoles dengan semangat dan doktrin
jihad melahirkan jihadisme. Istilah ini merujuk pada pemikiran, wacana, dan
aksi yang mengesahkan penggunaan kekerasan dengan dalih jihad sebagai strategi
untuk mencapai tujuan. Dari jihadisme ini lalu berkembang terorisme Islam. Terorisme
adalah puncak aksi kekerasan dimana hal yang paling mendasari terorisme adalah
adanya pemikiran dan taktik sistematis yang tujuannya berkait dengan
upaya-upaya mengubah sistem dan tatanan politik yang berlaku secara menyeluruh.
Genealogi
Islam Politik
Manifestasi islam politik acap kali
merupakan cermin persinggungan antara dinamika sosial-ekonomi dan politik yang
berlangsung di dataran global dan konteks sosial politik yang berlangsung di
tingkat lokal dengan cara mengukuhkan otentisitas dan meneguhakan identitas. Islam
politik di dunia Muslim kontemporer berakar pada gerakan puritanisme Islam yang
mulai tumbuh pada abad ke-18. Dengan tokohnya Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792)
yang mengambil inspirasi dari ajaran-ajaran Taqiy al-Din Ahmad ibn Taymiyyah (1263-1328).
Hampir satu abad setelah pengaruh Muhamamd ibn Abdul Wahab menancapkan
pengaruhnya di seluruh Semenanjung Arabia, gerakan reformisme Islam atau lebih
dikenal sebagai salafisme, berkembang. Hingga dalam perkembangannya, salafisme
mengalami krisis politik akibat kepemimipinan yang rapuh, keterpurukan kondisi
sosial ekonomi dan imperalisme Barat. Disaat yang sama, ideologi nasionalis
yang didasari etnik-kebangsaan muncul dan bersaing satu sama lain. Bermula pada
1930-an Hasan al-Banna (1906-1949) pendiri Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Abdul
a’la Maududi (1903-1978) pencetus partai Jama’at-i Islami di Indo-Pakistan
memperkenalkan gerakan pemikiran yang berusaha mendefinisikan Islam sebagai
ideologi politik, berhadapan dengan
ideologi politik besar lainnya di abad ke-20.
Gerakan pemikiran Islam sebagai
ideologi politik ini kemudian berkembang hingga pada tahun 1953, muncul organisasi
Hizb al-Tahrir yang didirikan oleh Taqiy al-Din al-Nabhani dengan mengambil
inspirasi dari Sayyid Qutb, salah seorang tokoh Ikhwanul Muslimin setelah
al-Banna. Sementara itu di Asia Selatan, melalui Jamaa’t-i Islami, Maududi
mengenalkan slogan ‘Islamisasi dari atas’. Maududi berjuang dari dalam ‘sistem’ untuk mendirikan negara Islam dimana Jamaa’t-i
Islami berdiri sebagai partai politik yang sah dan terbuka dan aktif
berpartisipasi dalam pemilu di Pakistan. Di tahun 1960, ketika Qutb dieksekusi
di tiang gantungan di Mesir, islam politik berkembang dan mengambil bentuk di
Iran yang saat itu dipimpin oleh Shah Muhammad Reza Pahlevi. Di saat yang bersamaan,
sekelompok ulama yang dipimpin Ayatullah Khomeini juga bergerak melawan Pahlevi
dengan mengadopsi posisi anti-modernis yang militan. Pergerakan Khomeini dibantu
oleh sosok pemikir dan ideolog Syiah terkemuka, Ali Syariati (1933-1977). Pada tahun
1979 setelah pecahnya revolusi Iran, pemerintahan Shah jatuh dan secara resmi
Iran menjadi republik Islam pada 1 April 1979. Pada pertengahan tahun 1980-an,
varian baru Wahabisme yang lebih konservatif secara politik berkembang di Saudi
Arabia dengan menggunakan bendera gerakan dakwah Salafi. Berbeda dengan
pengikut Ikhwanul Muslimin dan Jamaati Islami, Salafi mengambil sikap ‘non-politik’
(apolotical quietism) dan menekankan
uapaya menyatukan dan membersihkan tauhid umat dari dosa syirik dan bid’ah. Garis pemikiran
semacam ini identik dengan kebijakan Saudi menghambat radikalisme yang terus merambat
di tubuh aktivisme Islam pada saat itu.
Mencermati sejarah pertumbuhannya,
Islam politik sebenarnya berkembang sebagai bagian dari dinamika power struggle. Ia dalam banyak hal
merupakan protes politik yang terbalut dengan simbol-simbol dan wacana agama.
Tonggak perkembangan Islam politik berlangsung menyusul kekalahan dunia Arab
dari Israel pada Perang 1967. Hingga pada Desember 1979 perang Afghanistan
berlangsung sejak tentara Uni Soviet
datang menginvasi Kabul untuk membela pemerintahan Marxis yang dipimpin Partai
Demokrasi Rakyat Afghanistan menghadapi perlawanan mujahidin. Ideologi jihad
yang terbangun selama perang Afghanistan mendapatkan artikulasi dan format baru
ketika al-Zawahiri dan bin Laden mengembangkan sebuah visi gerakan jihad:
perang melawan jahiliyyahisme harus langsung ke sumbernya yakni kaum Salabis,
yang identik dengan Amerika Serikat, sekutunya, dan Zionis Israel. Inilah
embrio awal terbentuknya organisasi al-Qaeda yang digambarkan sebagai sejenis
merek dagang dan konglomerasi multinasional. Dimana ia bukan organisasi dalam
pengertian rigid yang memiliki garis dan struktur komando dari atas sampai
bawah. Namun yang pasti mereka semua diikat oleh keyakinan yang sama: jihad
sebagai satu-satunya jalan menuju kejayaan.
Note
:
Ringkasan tentang bab
selanjutnya akan saya susulkan dilain hari. Atau daripada menunggu kalian bisa
membeli atau mencari bukunya di perpustakaan terdekat.