Punakawan;
Simbol Kesetaraan Kaum Difabel
Punakawan dalam terminologi Jawa
terdiri dari dua kata yaitu ‘puna’ atau ‘pana’ yang berarti terang, jelas,
cermat, dan cerdik. Serta ‘kawan’ yang memiliki arti ‘pamong’ atau teman. Maka
punakawan dapat diartikan sebagai teman yang mempunyai kemampuan mencermati,
menganalisa, dan mencerna dengan ‘terang’ segala fenomena dalam kehidupan manusia.
Menurut sejarawan Slamet Mulyana, tokoh Punakawan yang muncul pertama kali
adalah Semar yang terdapat dalam karya sastra Sudamala dari zaman Majapahit. Dalam pementasan wayang, dalam versi manapun
dapat dipastikan Semar selalu ada, meskipun pasangannya berbeda-beda.
Pewayangan gaja Jawa tengah menampilkan empat punakawan golongan ksatria yaitu
Semar dan ketiga anaknya yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Selain itu ada punakawan golongan raksasa
Togog dan Bilung. Dalam versi wayang golek gaya Sunda, ketiga anak Semar bernama
Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu gaya Jawa Timuran menyebut pasangan
Semar hanya Bagong dan Besut sebagai anaknya Bagong. Versi Bali mengenal
punakawan untuk golongan ksatria bernama Tualen dan Merdah, sedangkan pengikut
golongan jahat bernama Delem dan Sangut. Namun secara keseluruhan memiliki
kesamaan dalam membagi peran Punakawan dalam pementasan wayang yaitu menjadi
penasehat spiritual dan politik.
Punakawan yang dalam pagelaran
wayang digambarkan sebagai tokoh yang penuh humor
dan selalu keluar pada lakon khusus yang kita kenal dengan sebutan goro-goro ini sebenarnya memiliki banyak
filosofi jika di analisa lebih lanjut. Jika kita cermati, tokoh Punakawan ini
secara visual memiliki banyak ‘perbedaan’ dengan tokoh lainnya. Semar dengan
jari telunjuk yang selalu ‘menuding’ dan bentuk wajah yang menggambarkan
kebahagiaan dan kesedihan. Gareng memiliki bentuk tangan yang tidak proporsional,
kaki pincang, dan memiliki mata yang juling. Petruk memiliki tangan dan kaki
yang panjang, bertubuh langsing, tangan yang tidak sempurna, dan hidung yang ‘terlalu
mancung’. Bagong sepintas memiliki banyak kemiripan dengan Semar namun
sebenarnya tokoh yang konon diciptakan dari bayangan Semar ini memiliki watak
yang berkebalikan dengan Semar dimana Bagong memiliki sifat yang lancang dan
kadangkala berlagak bodoh. Serta berbagi tokoh punakawan yang lain dalam
berbagai versi selalu digambarkan dalam bentuk manusia yang ‘tidak sempurna’. Namun
meskipun begitu, Punakawan memiliki banyak kelebihan seperti sifat kebijaksanaan
yang muncul dari pengetahuan yang luas dan tak terbatas.
Di mata saya, tokoh punakawan
dihadirkan untuk mewakili teman-teman difabel untuk mengembalikan dan memposisikan
mereka dalam golongan masyarakat yang ‘layak’. Dengan segala kelebihannya tanpa
merasa iba dan dikasihani secara terus menerus karena mereka adalah bagian dari
kita. Opini saya, jika rasa iba itu dihadirkan secara terus menerus justru akan
semakin mengerdilkan posisi mereka. Ini ‘hanya’ seperti orang-orang kidal yang
juga membutuhkan kesetaraan dalam hal aksesbilitas, kemudahan untuk mengakses
sesuatu hal yang mereka butuhkan. Sederhananya adalah adanya mobil dengan stir
di bagian kanan dan ada juga stir di sisi sebelah kiri.
Seperti tokoh Punakawan, mereka
layak untuk dihormati dan disegani tidak hanya oleh para ksatria namun para
dewa juga memanggil mereka dengan sebutan ‘kakang’. Mereka ada untuk memberi
pelajaran, membawa nasehat, bahkan menjadi penerang seperti arti hadirnya tokoh
punakawan dalam kisah pewayangan. Jika, jika memang masyarakat Jawa masih
memegang teguh nilai-nilai moralitas yang dijaga dan dilestarikan sebagai
khasanah kebudayaan seharusnya kita juga dapat belajar dari filosofi tokoh
Punakawan. Dalam hal ini juga sebagai bahan evaluasi berbagai pihak, pemerintah
kota dan kabupaten, dimana masih minimnya pemberian ruang-ruang aksesbilitas
bagi kaum difabel. Seperti temuan dari teman-teman Warga Berdaya yang melakukan
accesibility field test dalam konteks
tata ruang perkotaan. Juga bagi lembaga pendidikan, saya agaknya cukup
berbangga hati untuk bisa kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang membuka
pintu pendidikan untuk teman-teman difabel dengan julukan ‘kampus inklusif’. Ini
juga yang menjadi penerang saya secara pribadi karena interaksi yang terjadi
dengan teman-teman difabel, salah satunya adalah Akbar yang memiliki
keterbatasan dalam pengelihatan. Selain itu, tentu hal ini juga menjadi tugas
kita bersama sebagai bagian dari masyarakat yang ‘berdaya’ untuk mewujudkan
ketersediaan dan kemudahan akses bagi setiap lapisan masyarakat tanpa
terkecuali termasuk didalamnya adalah teman-teman difabel.
About Thibburruhany
Hi, My Name is Hafeez. I am a webdesigner, blogspot developer and UI designer. I am a certified Themeforest top contributor and popular at JavaScript engineers. We have a team of professinal programmers, developers work together and make unique blogger templates.