Subscribe & Follow

Jumat, 15 Januari 2016

Tag: , ,

Punakawan; Simbol Kesetaraan Kaum Difabel

               

Punakawan; Simbol Kesetaraan Kaum Difabel

                Punakawan dalam terminologi Jawa terdiri dari dua kata yaitu ‘puna’ atau ‘pana’ yang berarti terang, jelas, cermat, dan cerdik. Serta ‘kawan’ yang memiliki arti ‘pamong’ atau teman. Maka punakawan dapat diartikan sebagai teman yang mempunyai kemampuan mencermati, menganalisa, dan mencerna dengan ‘terang’ segala fenomena dalam kehidupan manusia. Menurut sejarawan Slamet Mulyana, tokoh Punakawan yang muncul pertama kali adalah Semar yang terdapat dalam karya sastra Sudamala dari zaman Majapahit.  Dalam pementasan wayang, dalam versi manapun dapat dipastikan Semar selalu ada, meskipun pasangannya berbeda-beda. Pewayangan gaja Jawa tengah menampilkan empat punakawan golongan ksatria yaitu Semar dan ketiga anaknya yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong.  Selain itu ada punakawan golongan raksasa Togog dan Bilung. Dalam versi wayang golek gaya Sunda, ketiga anak Semar bernama Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu gaya Jawa Timuran menyebut pasangan Semar hanya Bagong dan Besut sebagai anaknya Bagong. Versi Bali mengenal punakawan untuk golongan ksatria bernama Tualen dan Merdah, sedangkan pengikut golongan jahat bernama Delem dan Sangut. Namun secara keseluruhan memiliki kesamaan dalam membagi peran Punakawan dalam pementasan wayang yaitu menjadi penasehat spiritual dan politik.

                Punakawan yang dalam pagelaran wayang digambarkan sebagai tokoh yang penuh humor dan selalu keluar pada lakon khusus yang kita kenal dengan sebutan goro-goro ini sebenarnya memiliki banyak filosofi jika di analisa lebih lanjut. Jika kita cermati, tokoh Punakawan ini secara visual memiliki banyak ‘perbedaan’ dengan tokoh lainnya. Semar dengan jari telunjuk yang selalu ‘menuding’ dan bentuk wajah yang menggambarkan kebahagiaan dan kesedihan. Gareng memiliki bentuk tangan yang tidak proporsional, kaki pincang, dan memiliki mata yang juling. Petruk memiliki tangan dan kaki yang panjang, bertubuh langsing, tangan yang tidak sempurna, dan hidung yang ‘terlalu mancung’. Bagong sepintas memiliki banyak kemiripan dengan Semar namun sebenarnya tokoh yang konon diciptakan dari bayangan Semar ini memiliki watak yang berkebalikan dengan Semar dimana Bagong memiliki sifat yang lancang dan kadangkala berlagak bodoh. Serta berbagi tokoh punakawan yang lain dalam berbagai versi selalu digambarkan dalam bentuk manusia yang ‘tidak sempurna’. Namun meskipun begitu, Punakawan memiliki banyak kelebihan seperti sifat kebijaksanaan yang muncul dari pengetahuan yang luas dan tak terbatas.

                Di mata saya, tokoh punakawan dihadirkan untuk mewakili teman-teman difabel untuk mengembalikan dan memposisikan mereka dalam golongan masyarakat yang ‘layak’. Dengan segala kelebihannya tanpa merasa iba dan dikasihani secara terus menerus karena mereka adalah bagian dari kita. Opini saya, jika rasa iba itu dihadirkan secara terus menerus justru akan semakin mengerdilkan posisi mereka. Ini ‘hanya’ seperti orang-orang kidal yang juga membutuhkan kesetaraan dalam hal aksesbilitas, kemudahan untuk mengakses sesuatu hal yang mereka butuhkan. Sederhananya adalah adanya mobil dengan stir di bagian kanan dan ada juga stir di sisi sebelah kiri.

                Seperti tokoh Punakawan, mereka layak untuk dihormati dan disegani tidak hanya oleh para ksatria namun para dewa juga memanggil mereka dengan sebutan ‘kakang’. Mereka ada untuk memberi pelajaran, membawa nasehat, bahkan menjadi penerang seperti arti hadirnya tokoh punakawan dalam kisah pewayangan. Jika, jika memang masyarakat Jawa masih memegang teguh nilai-nilai moralitas yang dijaga dan dilestarikan sebagai khasanah kebudayaan seharusnya kita juga dapat belajar dari filosofi tokoh Punakawan. Dalam hal ini juga sebagai bahan evaluasi berbagai pihak, pemerintah kota dan kabupaten, dimana masih minimnya pemberian ruang-ruang aksesbilitas bagi kaum difabel. Seperti temuan dari teman-teman Warga Berdaya yang melakukan accesibility field test dalam konteks tata ruang perkotaan. Juga bagi lembaga pendidikan, saya agaknya cukup berbangga hati untuk bisa kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang membuka pintu pendidikan untuk teman-teman difabel dengan julukan ‘kampus inklusif’. Ini juga yang menjadi penerang saya secara pribadi karena interaksi yang terjadi dengan teman-teman difabel, salah satunya adalah Akbar yang memiliki keterbatasan dalam pengelihatan. Selain itu, tentu hal ini juga menjadi tugas kita bersama sebagai bagian dari masyarakat yang ‘berdaya’ untuk mewujudkan ketersediaan dan kemudahan akses bagi setiap lapisan masyarakat tanpa terkecuali termasuk didalamnya adalah teman-teman difabel.

                 

About Thibburruhany

Hi, My Name is Hafeez. I am a webdesigner, blogspot developer and UI designer. I am a certified Themeforest top contributor and popular at JavaScript engineers. We have a team of professinal programmers, developers work together and make unique blogger templates.

#simplehipster

--

 

Ads

http://www.lifestory.cf/