Subscribe & Follow

Kamis, 14 Januari 2016

Tag: ,

NU dan Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia (Makalah)

 

PENDAHULUAN

 

                Berabad-abad lamanya jauh sebelum agama Islam datang, di Indonesia berdiri berbagai macam kerajaan Hindu dan Budha. Sebutlah Kutai Kartanegara, Sriwijaya, dan Majapahit, hingga kerajaan Mataram Kuno yang menandai berakhirnya kejayaan Hindu Budha dan munculnya kerajaan-kerajaan Islam. Menurut tarikh sejarah masa transisi ini, Majapahit dan Mataram Kuno meninggalkan sebuah tradisi yang berperan terhadap corak perkembangan kebudayaan Islam di Indonesia. Menurut Savitri Scherer dalam buku Mangir karya Pramudya Ananta Toer menyebutkan bahwa kerajaan Mataram Kuno memiliki wilayah otonom (swapraja) yang disebut dengan tanah perdikan atau republik desa. Dipimpin oleh seorang tokoh yang bergelar Ki Ageng, tanah perdikan ini diserahi tugas untuk mengatur pendidikan spiritual masyarakat dan juga merawat rumah ibadah. Lebih lanjut, “perdikan” Kadilangu dan Tembayat yang berdiri di bawah payung kerajaan Islam Demak dan Pajang berubah menjadi pemukiman “pesantren”, dari jaman pemerintahan Sultan Agung.[1]

                Berangkat melalui lingkungan pesantren inilah benih organsisasi Nahdatul Ulama mulai ditanam, mulai dari Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), dan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Berangkat dari munculnya berbagai macam komite dan organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu muncul kesepakatan dari para ulama pesantren untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) di Kota Surabaya. Dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar. Dalam perkembangannya, NU kemudian menjadi salah satu organisasi Islam yang memiliki pengaruh terhadap gerakan pembaharuan Islam di Indonesia yang lebih lanjut dalam kajian ini akan dibahas bagaimana latar belakang dan napak tilas sejarah berdirinya organisasi N.U dan bagaimana peranan N.U dalam gerakan pembaharuan Islam di Indonesia.

Penulis,

Thibburruhany


BAB I

LATAR BELAKANG

 

                Embrio gerakan pembaharuan dalam Islam atau tajdid sebenarnya sudah sejak lama muncul pasca periode akhir masa pemerintahan khalifah Ali bin abi-Thalib (abad 3 H), yang juga menandai berakhirnya masa Kurafaurrasyidin dan munculnya dinasti Muawiyah, inilah yang disebut oleh Khoiro Ummatin sebagai episode baru dalam dalam sejarah kebudayaan Islam[2]. Perubahan ini tidak hanya memiliki dampak terhadap peta politik Islam namun juga berpengaruh terhadap dinamika corak pemikiran Islam dengan munculnya berbagai macam aliran teologi Islam seperti Syiah, Mu’tazilah, Khawarij, Maturidiyah, Asyariah. Perlahan namun pasti, setelah hampir berabad-abad lamanya embrio gerakan pembaharuan Islam ini mulai menemukan bentuk yang rigid pada pertengahan abad ke-11 H. Pada masa itu muncul seorang tokoh bernama Muhammad bin ‘Abdul Wahab yang  membawa jargon purifikasi (pemurnian) akidah dalam gerakan dakwahnya. Tokoh inilah yang kemudian disebut beberapa penulis sebagai mujaddid (pembaharu).

                Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dapat kita awali dengan kemunculan kerajaan Islam Samudera Pasai di pulau Sumatra. Kemudian sepak terjang Walisongo yang ikut berperan penting dalam penyebaran dan perkembangan Islam di pulau Jawa. Hingga munculnya organisasi Sarekat Islam dan Muhammadiyah di tahun 1912. Duapuluh tahun berselang, tepatnya ditahun 1926 lahirlah sebuah organisasi bernama Nadhatul Ulama (kebangkitan ulama). Banyak hal yang melatar belakangi kemunculan organisasi Islam, seperti Sarekat Islam yang mengawali gerakan dakwahnya dengan perdagangan, Muhamammadiyah dengan gerakan pembaharuan, dan Nadhatul Ulama (N.U) yang muncul dengan latar belakang “politis” yang salah satunya adalah untuk merespon gerakan pembaharuan yang dilakukan Wahabi di Arab Saudi.

                Hal ini menandakan bahwa meskipun Islam itu satu dari sudut ajaran pokoknya, akan tetapi setelah terlempar dalam konteks sosial-politik tertentu pada tingkat perkembangan sejarah tertentu pula agama bisa memperlihatkan struktur interen yang berbeda-beda.[3] Maka jika dilihat dari masalah yang menjadi dinding pembatas di antara beberapa kelompok di atas, adalah bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem kehidupan sosial,[4] antara Islam sebagai model of reality dan Islam sebagai models for reality[5], sehingga menciptakan setidaknya dua bentuk komunitas beragama yaitu antara folk variant dan scholarly veriant, yang dalam konteks keindonesiaan terwujud dalam bentuk komunitas NU dan komunitas Muhammadiyah. Yang pertama sering diklaim sebagai kelompok tradisionalis, dan yang kedua sebagai kelompok modernis. [6]

                Pun-demikian, NU yang selama ini dianggap sebagai organisasi tradisional dengan basis pesantren justru memperlihatkan gairah progresivitas berpikir, dibandingkan dengan organisasi modern yang malah tampak stagnan dan resisten. Kitab kuning yang telah ditulis ulama berabad-abad lalu dan dijadikan salah satu referensi utama nahdhiyin ternyata justru membuka wawasan yang membentang luas dalam mencermati perubahan sosial. Pemahaman agama bergerak tidak lagi secara tekstualis, tetapi kontekstual. Tentunya ini perlu dipandang sebagai kemajuan di dalam NU. Hal ini diperkuat dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Arbiyah Lubis, ditemukan bahwa Muhammadiyyah termasuk dalam kelompok tradisionalis modernis. Di mana Muhammadiyyah tampil sebagai modernis hanya dalam dunia pendidikan, dan dalam memahami teks al Qur’an dan Hadith sebagai sumber ijtihad, Muhammadiyyah berada dalam kelompok tradisonalis.[7] Sementara dalam penelitian lain, Muhammad Azhar juga mengatakan bahwa dalam beberapa hal, NU yang dianggap tradisional, ternyata lebih modern keimbang Muhammadiyah. Sebagai contoh, proses penerimaan asas Pancasila, pendirian BPR Nusumma, ternyata NU terkesan mendahului Muhammadiyah.[8]

 


 

A.     Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama

        Organisasi Islam Nahdatul Ulama pertama kali berdiri pada 16 Rajab 1344 H menurut kalender Islam atau pada tanggal 31 Januari 1926 menurut penanggalan masehi. Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asyari sebagai Rais Akbar.[9] Latar belakang pendirian organisasi NU ini tidak dapat dilepaskan dari faktor sosial-politik dan keagamaan yang terjadi pada saat itu. Setidaknya ada dua latar belakang yang melatar belakangi berdirinya organisasi ini yaitu latar belakang kebangsaan atau nasionalisme dan agama. Pertama, adalah latar belakang kebangsaan (nasionalisme).

        Kondisi bangsa Indonesia yang sedang terkungkung oleh penjajahan yang dilakukan bangsa Belanda pada saat itu menimbulkan keterbelakangan mental dan ekonomi yang dialami bangsa Indonesia. Pada tahun 1908 muncul gerakan Kebangkitan Nasional yang diinisiasi oleh kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa melalui jalan pendidikan dan organisasi.Berangkat dari gerakan ini, kalangan pesantren yang turut berjuang melawan kolonialisme membentuk organisasi pergerakan seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916 yang diprakarsai oleh KH. Wahab Hasbullah bekerjasama dengan KH. Abdul Kahar (seorang pengusaha kaya) di Surabaya dan didukung oleh masyarakat berhasil mendirikan sebuah gedung bertingkat di kampung Kawatan Gg. IV Surabaya yang kemudian dikenal sebagai perguruan Nahdlatul Wathon yang berarti Pergerakan Tanah Air. Tidak berhenti sampai disitu, di tahun 1918 kalangan pesantren mendirikan sebuah organisasi bernama Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Selanjutnya didirikanlah Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar) yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.[10] Organisasi-organisasi inilah yang nantinya menjadi embrio dari lahirnya sebuah organisasi Islam bernama Nahdlatul Ulama. Sekaligus menjadi titik dimana ditemukanlah tiga pilar penting bagi NU yaitu: (1) Wawasan Ekonomi kerakyatan, (2) Wawasan Keilmuan, Sosial Budaya, dan (3) Wawasan Kebangsaan.[11]

        Latar belakang kedua yang tidak kalah pentingnya adalah latar belakang keagamaan dimana perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu, diantaranya adalah pada tahun 1924, Syarif Husein raja Hijaz ( Makah ) yang berfaham Sunni (ahlus sunah wal jama’ah) ditakluk- kan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi. Aliran Wahabi ini bentuk ajarannya adalah melarang semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum Sunni, yang sudah berlaku di Tanah Arab dan akan menggantinya dengan model Wahabi. Pengamalan agama dengan sistem bermadzhab, tawasul, maulid Nabi, ziarah kubur dan lain sebagainya akan segera dilarang. Dan bahkan Raja Ibnu Saud juga ingin melebarkan pengaruh kekuasaannya ke seluruh dunia Islam. Dengan dalih demi kejayaan Islam, ia berencana meneruskan kekhilafahan Islam yang terputus di Turki pasca runtuhnya Daulah Usmaniyah.[12]

        Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII atau Sarekat Islam di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.

        Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga. Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari. Dan untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

 

B.     Paham Keagamaan NU

        Merujuk pada laman resmi organisasi NU, www.nu.or.id paham keagamaan NU adalah Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis).  Lebih lanjut :

        “... Karena itu sumber hukum Islam bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al- Maturidi dalam bidang teologi/ Tauhid/ketuhanan. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. ...”[13]

 

C.      Dinamika Nahdlatul Ulama dalam Politik Praktis

        Sebagai sebuah organisasi Islam yang bergerak di bidang agama, pendidikan, sosial budaya, ekonomi, dan politik. Dinamika yang terjadi dalam tubuh organisasi Nahdlatul Ulama tentu tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sosial-politik yang terjadi di Indonesia. Seperti terjunnya NU kedalam politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno, dan bergabung dalam NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) Nasionalis diwakili Partai Nasional Indonesia (PNI) Agama Partai Nahdhatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia (PKI).[14]

        Perjalanan NU di ranah politik praktis dilanjutkan dengan kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tanggal 5 Januari 1973 atas “desakan” penguasa orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Hingga pada tahun 1984, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Achmad Siddiq menarik gerbong NU kembali ke “Khittah 1926” melalui muktamar NU di Situbondo. Diantara sikap kembali ke khittah itu, NU menarik diri dari politik dan tak lagi menjadi bagian dari PPP. Dan kemudian ormas keagamaan yang lebih tua 19 tahun dari usia Republik ini menjaga jarak yang sama dengan seluruh parpol. Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.

        Fase-fase yang terjadi di tubuh organisasi NU ini menarik untuk diikuti sebab NU sebagai gerakan Islam memberikan warna dan corak gerakan pembaharuan Islam yang terjadi di Indonesia di setiap fasenya. Seperti pada saat terpilihnya tokoh NU, Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI. Dengan membawa semangat pluralisme, KH Abdurrahman Wahid memberikan perubahan segar terhadap “wajah” Islam tidak hanya di Indonesia namun juga di dunia.

 


 

BAB II

ISI

 

Nahdlatul Ulama dan Gerakan Pembaharuan Islam

                Tidak dapat dipungkiri, organisasi-organisasi yang berdiri sejak munculnya gerakan Kebangkitan Nasional pada tahun 1908 memberikan dampak yang signifikan terhadap dinamika di segala bidang. Termasuk juga gerakan-gerakan yang digawangi organisasi Islam seperti Persatuan Sarekat Islam Indonesia, Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, Al-jamiatul Washliyah dan Alittihadiyah. Tidak terkecuali organisasi NU yang turut aktif bergerak dalam gerakan pembaharuan Islam di ranah teoritis maupun praktis.

                Nahdltaul Ulama sebagai organisasi Islam tradisionalis menunjukkan bahwa pribumisasi Islam memiliki urgensi terhadap dinamika sosial-kemasyarakatan. Mengadopsi apa yang layak dalam tradisi untuk dikembangkan demi kepentingan masa kini dan masa depan merupakan langkah pemaknaan yang paradigmatis. Karena sebuah transformasi, baik pemikiran maupun sosial, harus beranjak dan menimba inspirasinya dari tradisi. Maka, diperlukan ikhtiar untuk menggali hal- hal dalam tradisi yang bisa mendukung transformasi. Dalam istilah Moch Abid al-Jabiri disebut al-tajdid min al-dakhil atau pembaruan internal. Sebetulnya, jika pembaruan pemikiran selalu berlangsung dalam rangka tradisi, usaha modernisasi akan berlangsung dalam perangkat tradisi yang dinamis-dialogis. Sebab, tidak semua tradisi bertentangan dengan kemajuan.[15] Nurcholish Madjid, tokoh intelektual Muslim Indonesia, juga mengatakan bahwa pola pemikiran Neo-modernisme Islam akan muncul dari kalangan NU yang kaya khazanah klasik, ketimbang Muhammadiyah, dan kini hal itu terbukti dengan munculnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang tokohnya banyak didominasi oleh kalangan pemuda NU.

 

Gerakan Kembali ke Khittah 1926

                Melihat perkembangan organisasi ini tidak dapat dipungkiri bahwa “Gerakan kembali ke khittah 1926” menjadi tonggak awal masifnya pergerakan NU dalam pembaharuan Islam. Meskipun banyak yang menilai bahwa gerakan kembali ke khittah ini adalah faktor politik dan non-politik semata, namun disamping itu ada faktor lain yang akhirnya membuat gerakan NU 1926 ini menjadi sebuah paradigma kebudayaan. Menurut Tedi Kholiludin, sebagai cara pandang ada tiga tema utama yang melatar belakangi beridirinya NU yaitu integritas terhadap bangsa, independensi dari kolonialisme, dan  hak untuk  berkeyakinan.[16] Tiga konteks itulah yang menjadi kerangka paradigmatik bagi tafsir baru atas khittah 1926 sebagai paradigma kebudayaan, bukan paradigma politik. Maka dari itu, formulasinya jelas, bahwa khittah tersebut, adalah peduli terhadap persoalan kebangsaan, kritis terhadap kekuasaan dan menjaga hak warga negara untuk bebas beragama dan berkeyakinan.

                Selain itu, tokoh dibalik layar gerakan kembali ke khittah 1926 saat Muktamar NU di Situbondo tahun 1984 tidak lain adalah tokoh generasi muda NU yaitu KH. Abdurrahman Wahid. Pada masa Gus Dur, tema-tema seperti Aswaja, Halaqoh, Bahtsul Masail, Fikih Siyasah dan lain-lain menemukan signifikansinya dengan sentuhan pembaharuan pada aspek metodologisnya. Bahkan pada masa ini, muncul diskursus baru tentang fiqih perempuan. Tema ini cukup baru dan NU bisa dikatakan berhasil memberikan justifikasi teologis atas argumen kesetaraan gender. Padahal, wacana gender, awalnya masuk ke Indonesia dengan sangat sekuler. Menurut Djohan, perkembangan wacana yang begitu menggeliat, tidak lepas dari dua faktor. Pertama, keputusan NU untuk kembali pada Khittah 1926. Kedua, pilihan untuk memilih duet Gus Dur dan Kiai Achmad Siddik sebagai pimpinan NU. Saat itu, dua tokoh tersebut, merupakan representasi “tipe lain” dari pimpinan NU yang lebih mendorong NU konsisten di jalur sosial budaya daripada sosial-politik. Kehadiran keduanya membawa semangat intelektual baru diantara generasi muda NU. Salah satu kontribusi Kiai Achmad Siddik adalah membuat memasarkan tajdid bukan sebagai sesuatu yang perlu ditakuti. Di saat yang sama, Gus Dur menjadi payung bagi generasi muda NU untuk mengembangkan tradisi intelektual.

 

Generasi Muda NU

                Generasi muda NU inilah yang memberikan corak pemikiran dan perubahan orientasi NU dalam gerakan sosial sebagai upaya strategi pembaharuan. Sekaligus menjadi gerakan kritik sebagai counter wacana terhadap isu-isu yang berkembang, khususnya yang menyangkut ideologi NU. Sebuah desertasi Ahmad Ali Riyadi tentang pembaharuan yang dilakukan generasi muda NU menunjukkan bahwa NU sebagai organisasi Islam tidak hanya terjebak pada persoalan-persoalan teologis semata namun juga memiliki komitmen terhadap problematika sosial politik dimana tema-tema yang diusung oleh kaum muda NU lebih menekankan terhadap problem-problem kemanusiaan kontemporer melalui penelusuran doktrin, sejarah, dan kajian kontemporer untuk menemukan makna Islam yang mampu menjawab persoalan kemanusiaan sebagai upaya kontekstualisasi pemahaman agama yang diimplementasikan ke dalam gerakan pengembangan masyarakat dengan pendekatan praktis dan teoritis. Dimana di tataran teoritis mereka membangun teori-teori alternatif dengan apa yang disebut Islam kritis, Islam emansipatoris, Islam liberal, dan Islam progresif.[17] Ada tiga faktor yang melatarbelakangi perkembangan generasi muda NU saat itu. Pertama, eksistensi pengetahuan yang terformulasikan dalam paradigma mazhabiyyah. Tradisi ini berkembang dalam lingkup pesantren sebagai cultural institution dan ada dalam tradisi bahtsul masail sebagai forum diskursus intelektual. Tradisi bermazhab ini kemudian diberikan sentuhan dengan menggeser paradigma dari bermazhab secara qawli menuju mazhab manhajiy. Kedua, kehadiran pesantren sebagai infrastruktur cultural yang mendorong kesinambungan institusi lokal dan tradisional tetapi di saat yang sama terbuka akan perubahan dan pengembangan. Ketiga, Kiai yang memainkan peran tidak hanya sebagai pemimpin agama tetapi juga pemimpin sosial.

 

Usaha di Bidang Ekonomi

                Selain pembaharuan dalam bidang pemikiran Islam, geliat NU dalam gerakan pembaharuan Islam Indonesia di bidang ekonomi juga tidak dapat dianggap remeh. Bermodalkan sejarah Nahdlatut Tujjar, KH. Hasyim Asy’ari menguraikan tentang problemproblem keumatan yang terkait erat dengan soal ekonomi. KH. Hasyim Asy’ari kemudian memelopori dan menuntut kepedulian para ulama, karena merekalah pemimpin dan teladan umat. Apabila basisbasis dan simpul-simpul kemandirian ekonomi tidak dibangun, selain para ulama telah berdosa, bangsa ini juga akan terus terpuruk dalam kemiskinan, kemaksiatan, dan kebodohan akibat dari kuatnya pengaruh kolonial.

                 Yang tidak kalah menarik, sebagaimana dicatat Adien Jauharudin, sejak awal pendiriannya, Nahdlatut Tujjar ternyata telah mengenal dan menerapkan manajemen organisasi modern. Pembagian struktur organisasi dan pembagian kerja, di mana ada para pendiri, kepala perusahaan, direktur, sekretaris, marketing, dan pengawas keliling sudah dipraktikkan di Nahdlatut Tujjar. KH. Hasyim Asy’ari dipilih sebagai kepala perusahaan dan mufti (semacam komisaris), KH. Wahab Hasbullah sebagai direktur perusahaan, H. Bisri sebagai sekretaris perusahaan, dan Syafi’i sebagai marketing sekaligus pengendali perusahaan. Selain itu, konsep investasi usaha juga mengemuka dalam bentuk sederhana, yang di era sekarang dikenal dengan profit share. Pembagian keuntungan 50% menjadi kesepakatan bersama, tetapi masih boleh dikembalikan untuk memperkuat modal. Dengan begitu, Nahdlatut Tujjar didirikan bukan hanya untuk membangun basis perekonomian para ulama, melainkan menjaga tradisi perdagangan yang sudah ada sejak sebelum datangnya kolonial dan turut menciptakan pasar sendiri di daerah Surabaya, Kediri, dan Jombang. Lebih dari itu, Nahdlatut Tujjar juga memiliki cita-cita ideal untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan, kemaksiatan, dan kebodohan. Hingga pada tahun 1995 NU sudah mendirikan Bank Pengkreditan Rakyat (BPR) yang diberi nama NUSUMA UTAMA.

 

Usaha di Bidang Sosial-Kemasyarakatan

                Secara garis besar pokok perjuangan atau orientasi gerakan NU di bidang sosial kemasyarakatan dapat dibagi menjadi dua fase yaitu fase sebelum dan sesudah munculnya Gerakan kembali ke khittah 1926 pada Muktamar NU Situbondo 1984. Termasuk di bidang sosial-kemasyarakatan, menurut A. Sunarto A.S. ada dua alasan pokok yang dikemukakan oleh Gusdur terkait pribumisasi Islam. Pertama, alasan historis bahwa pribumisasi Islam merupakan bagian dari sejarah Islam. Baik di negeri asalnya maupun negeri lain termasuk Indonesia. Kedua, proses pribumisasi Islam berkaitan erat antara fikih dengan adat. Menurutnya, adat tidak mengubah nash, melainkan hanya mengubah atau mengembangkan implementasinya agar lebih fleksibel.[18]

                Kegiatan sosial kemasyarakatan NU di bidang pendidikan sangat terlihat adalah dengan adanya pesantren pada fase awal berdirinya NU. Tujuannya tidak lain adalah menanamkan pendidikan agama dan memberikan cakrawala pengetahuan bagi kalangan pribumi di masa kolonialisme Belanda. Hingga kemudian untuk menjawab perkembangan jaman yang menuntut NU untuk membentuk sebuah sistem pendidikan yang memiliki struktur formal, maka beridirilah lembaga pendidikan Maarif dan pondok pesantren dibina oleh RMI (Rabithah Maahid Al Islamiyah). Kemudian pada tahun 1997 telah didirikan lembaga kemaslahatan keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) sebagai kelanjutan dari program Muslimat NU yang lebih dulu bergerak mengurusi masalah kependudukan sejak tahun 1969. Program-program LKKNU terutama ditujukan pada warga NU dan lembaga-lembaga yang dimilikinya untuk merealisasikan maksudnya sebagaimana telah tersebut diatas maka LKKNU kemudian menyelenggarakan lokakarya tentang KB dan kependudukan dipesantren-pesantren. Pelatihan para penyuluh KB yang sesuai dengan syariat agama Islam dan pelatihan guru, serta mengadakan studi banding tentang pengembangan KB ke luar negeri seperti, Mesir, Tunisia, Turki dan Filiphina.[19]

                Kegiatan sosial-kemasyarakatan NU mulai menemukan signifikansinya pasca Muktamar di Situbondo tahun 1984. Pada saat itu, muncul kader-kader muda NU seperti Abdurrahman Wahid, Fahmi Saifuddin, dan Mustofa Bisri. Dari sini, muncul wacana-wacana baru dimana kemudian perkembangan pemikiran ini tidak hanya berlaku pada tataran teologis namun juga berbicara pada tataran sosial-kemasyarakatan. Konsekuensi ini kemudian memunculkan corak baru pada dunia pemikiran Islam dengan adanya teori-teori alternatif berupa Islam progresif, Islam emansipatoris, Islam liberal, dan Islam kritis.[20] Teori-teori alternatif ini diwujudkan dalam tataran praktis melalui penelusuran doktrin, sejarah, dan kajian kontemporer untuk menemukan makna Islam yang mampu menjawab persoalan kemanusiaan. Refleksi perubahan tersebut diimplementasikan dalam bentuk produk baru seperti fiqh perempuan yang muncul dalam merespon isu gender yang muncul di Barat. Tidak kalah pentingnya adalah pemikiran Gus Dur mengenai paham pluralism[21] dimana kemudian muncul gerakan-gerakan Islam toleran dan Islam liberal.

 

Usaha di Bidang Politik

                Menurut KH. Ahmad Mustofa Bisri, setidaknya ada 3 jenis politik dalam pemahaman Nahdlatul Ulama, yaitu politik kebangsaan, politik kerakyatan dan politik kekuasaan. Nahdlatul Ulama sejak berdiri memang melakukan aktivitas politik, terutama dalam pengertian yang pertama, yakni politik kebangsaan, karena Nahdlatul Ulama sangat berkepentingan dengan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Napak tilas gerakan NU diawali dengan munculnya ideologi Pancasila sebagai pondasi bangsa Indonesia. Peranan NU termuat dalam sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Peta politik NU kemudian dilanjutkan dengan berubahnya NU menjadi partai politik di tahun 1955 setelah sebelumnya bergabung dengan Masyumi bersama organisasi Islam lainnya. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno, dan bergabung dalam NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) Nasionalis diwakili Partai Nasional Indonesia (PNI) Agama Partai Nahdhatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah itu NU maju ke panggung politik praktis bersama Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

                 Hingga kemunculan gerakan kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984 melalui Muktamar di Situbondo yang merubah orientasi NU sebagai jamiyah diniyah dan  memutuskan untuk tidak berpolitik. Masa reformasi yang menjadi tanda berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru merupakan sebuah momentum bagi Nahdlatul Ulama untuk melakukan pembenahan diri. Selama rezim orde baru berkuasa, Nahdlatul Ulama cenderung dipinggirkan oleh penguasa saat itu. Ruang gerak Nahdlatul Ulama pada masa orde baru juga dibatasi, terutama dalam hal aktivitas politiknya. Pada masa reformasi inilah peluang Nahdlatul Ulama untuk memainkan peran pentingnya di Indonesia kembali terbuka. Nahdlatul Ulama yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia, pada awalnya lebih memilih sikap netral menjelang mundurnya Soeharto. Namun sikap ini kemudian berubah, setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan untuk merespon proses reformasi yang berlangsung di Indonesia, yang dikenal dengan Refleksi Reformasi. Refleksi reformasi ini berisi delapan butir pernyataan sikap dari PBNU. Pasca reformasi 1998peta politik NU di kembangkan oleh tokoh-tokoh dengan basis NU seperti Abdurrahman Wahid yang mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai ini juga yang kemudian mengantarkan Gus Dur sebagai presiden Republik Indonesia di tahun 1999.

 


 

BAB III
PENUTUP

 

Kesimpulan

                Dari semua ini tergambar sebuah milestone atau napak tilas gerakan pembaharuan Islam diawali dari terbentuknya organisasi-organisasi Islam di masa kolonialisme, berlanjut di fase post-kolonialisme dengan terjunnya organisasi Islam di ranah politik praktis, di fase selanjutnya muncul gerakan modernisasi yang digawangi oleh kaum puritan Islam yang didominasi oleh kalangan Muhammadiyah, setelah itu di fase neo-modernisasi muncul pemikiran dan pemahaman Islam progresif untuk merespon gerakan pembaruan dalam Islam yang dilakukan oleh kaum puritan. Kemunculan pemikiran dan pemahaman Islam progresif ini dipelopori oleh kaum muda Nahdalatul Ulama. Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya gerakan pembaharuan Islam khususnya di Indonesia tidak melihat bagaimana main idea pada sebuah organisasi Islam, namun geliat sosial-kemasyarakatan-lah yang sebenarnya menjadi faktor kunci terhadap perkembangan gerakan pembaharuan Islam ini baik di tingkatan teoritis maupun praktis.

 

Saran

                Setelah melakukan kajian ini ada beberapa hal yang patut menjadi bahan pertimbangan baik dari segi akademis maupun agamis. Dimana gerakan pembaharuan yang dilakukan organisasi Nahdlatul Ulama ini mengajarkan bahwa proses keilmuan dan keagamaan dapat berjalan secara beriringan. Artinya bahwa pembelajaran melalui proses berpikir dapat dikembangkan seluas-luasnya namun tetap berpegang teguh pada pedoman agama. Dan pemaknaan bahwa agama sebagai pedoman hidup memiliki sifat yang fleksibel dan dinamis. Tafsir dan intepretasi terhadap doktrin keagamaan berjalan sesuai dengan perkembangan dan perubahan jaman.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ananta Toer, Pramudya. Mangir. 2000.Jakarta: KPG,

 ‘Abduh, Muhammad, Rislah Taud, Terj. B. Michel dan Mustafa Abdul Raziq (Paris:        t.t.p, 1925),

Achmad Hasyim Muzadi dkk, Profil dan DIrektori Nahlatul Ulama dari masa ke masa               (Jakarta: PT.Yellow Multi Media, 2009) hlm. 34-35.

A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (jakarta: Rajawali, 1988) Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3S, 1996),

Alfaruqi, Jabir, Wakil Ketua PW GP Ansor Jawa Tengah. NU, Fundamentalisme, dan     Liberalisme. harian Kompas, 28 Juli 2006

Azra, Azyumardi, Suplemen Republika, Kamis, 14 Maret 2002,

                Donald Eugene Smith. Agama dan Modernisasi Politik: Suatu Kajian Analitis (Jakarta: Rajawali Press, 1985)

Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3S, 1996)

Ummatin, Khoiro. Sejarah Islam dan Budaya Lokal; Kearifan Islam atas Tradisi           Masyarakat. 2015. (Kalimedia: Yogyakarta)

Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001)

A. Sunarto AS, Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.2, Oktober 2013

Desertasi. Ahmad Ali Riyadi. Gerakan Pembaharuan Islam Kaum Muda Nahdlatul       Ulama (NU) di Indonesia 1990-2005. Program Pascasarjana UIN Sunan              Kalijaga Yogyakarta. 2006, hlm. 219

http://www.nu.or.id/a,public-m,static-s,detail-lang,id-ids,1-id,6-t,sejarah-.phpx,         terakhir diakses pada 1 Desember 2015

http://www.nu.or.id/pahamkeagamaan-.phpx, terakhir diakses pada 1 Desember      2015

https://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_%27Ulama, terakhir diakses pada 1                Desember 2015

Said Aqil Siradj .NU, Tradisi dan Kebebasan Pikir, http://www.nu.or.id/, terakhir          diakses pada 5 Desember 2015

Tedi Kholiludin, NU dan Tradisi Pembaharuan, http://elsaonline.com/?p=885               terakhir diakses pada 6 Desember 2015

http://aswajanu86.blogspot.co.id/2015/09/peranan-nahdlatul-ulama-.htm, diakses               pada 4 Desember 2015



                [1] Ananta Toer, Pramudya. Mangir. 2000.Jakarta: KPG, hlm. X

                [2] Ummatin, Khoiro. Sejarah Islam dan Budaya Lokal; Kearifan Islam atas Tradisi Masyarakat. 2015. (Kalimedia: Yogyakarta), hlm. 72

                [3] Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3S, 1996), hlm. 11.

                [4] Andrew Rippin, Muslim, 35.

                [5] Yang pertama mengisyaratkan bahwa Islam adalah representasi dari sebuah realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa Islam merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini Agama mencakup teori teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas. Bassam Tibi, Islam and the Cultural, 8.

                [6] Pembagian kaum modernis dan tradisionalis ini berdasarkan pada kajian Clifford Geerzt pada tahun 1950-1960-an tentang pembagian masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok : santri, priyayi, dan abangan. Kemudian ia membagi kelompok santri menjadi dua: kaum modernis (Muhammadiyah) dan tradisionalis (NU). Ia menilai NU dan pesantren sebagai organisasi yang anti modern dan kontra pembaharuan. (Ahmad Ali Riyadi. Gerakan Pembaharuan Islam Kaum Muda Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia 1990-2005)

                [7] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 185.

                [8] Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), 89.

                [9] http://www.nu.or.id/a,public-m,static-s,detail-lang,id-ids,1-id,6-t,sejarah-.phpx, terakhir diakses pada 1 Desember 2015

                [10] Achmad Hasyim Muzadi dkk, Profil dan DIrektori Nahlatul Ulama dari masa ke masa (Jakarta: PT.Yellow Multi Media, 2009) hlm. 34-35.

                [11] Ibid, hlm. 80.

                [12] Ibid, http://my-dock.blogspot.co.id/

                [13] http://www.nu.or.id/a,public-m,static-s,detail-lang,id-ids,1-id,6-t,pahamkeagamaan-.phpx, terakhir diakses pada 1 Desember 2015

                [14] https://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_%27Ulama, terakhir diakses pada 1 Desember 2015

                [15] Said Aqil Siradj .NU, Tradisi dan Kebebasan Pikir, http://www.nu.or.id/, terakhir diakses pada 5 Desember 2015

                [16] Tedi Kholiludin, NU dan Tradisi Pembaharuan, http://elsaonline.com/?p=885 terakhir diakses pada 6 Desember 2015

                [17] Desertasi. Ahmad Ali Riyadi. Gerakan Pembaharuan Islam Kaum Muda Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia 1990-2005. Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2006, hlm. 219

                [18] A. Sunarto AS

                [19] http://aswajanu86.blogspot.co.id/2015/09/peranan-nahdlatul-ulama-dalam-bidang.html

                [20] Ibid,

                [21] Publik Indonesia hingga kini tetap mengakui kontribusi NU dalam hal kerukunan umat beragama. Jajak pendapat yang dirilis Harian KOMPAS pada 15 Maret 2010 menunjukkan bahwa secara konsisten diperoleh tingkat kepuasan tertinggi responden (80,6 persen) terhadap peran NU dalam penciptaan iklim toleransi antarumat beragama. Setelah itu, berturut-turut dalah hal memajukan pendidikan masyarakat (61,7 persen) dan memajukan demokrasi (60,8 persen).

About Thibburruhany

Hi, My Name is Hafeez. I am a webdesigner, blogspot developer and UI designer. I am a certified Themeforest top contributor and popular at JavaScript engineers. We have a team of professinal programmers, developers work together and make unique blogger templates.

#simplehipster

--

 

Ads

http://www.lifestory.cf/