PENDAHULUAN
Berabad-abad
lamanya jauh sebelum agama Islam datang, di Indonesia berdiri berbagai macam
kerajaan Hindu dan Budha. Sebutlah Kutai Kartanegara, Sriwijaya, dan Majapahit,
hingga kerajaan Mataram Kuno yang menandai berakhirnya kejayaan Hindu Budha dan
munculnya kerajaan-kerajaan Islam. Menurut tarikh sejarah masa transisi ini,
Majapahit dan Mataram Kuno meninggalkan sebuah tradisi yang berperan terhadap
corak perkembangan kebudayaan Islam di Indonesia. Menurut Savitri Scherer dalam
buku Mangir karya Pramudya Ananta Toer menyebutkan bahwa kerajaan Mataram Kuno
memiliki wilayah otonom (swapraja)
yang disebut dengan tanah perdikan atau republik desa. Dipimpin oleh seorang
tokoh yang bergelar Ki Ageng, tanah perdikan ini diserahi tugas untuk mengatur
pendidikan spiritual masyarakat dan juga merawat rumah ibadah. Lebih lanjut,
“perdikan” Kadilangu dan Tembayat yang berdiri di bawah payung kerajaan Islam
Demak dan Pajang berubah menjadi pemukiman “pesantren”, dari jaman pemerintahan
Sultan Agung.[1]
Berangkat
melalui lingkungan pesantren inilah benih
organsisasi Nahdatul Ulama mulai ditanam, mulai dari Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), dan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar).
Berangkat dari munculnya berbagai macam komite dan organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu muncul kesepakatan dari para ulama
pesantren untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan
Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) di Kota Surabaya. Dipimpin oleh
K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar. Dalam perkembangannya, NU kemudian
menjadi salah satu organisasi Islam yang memiliki pengaruh terhadap gerakan
pembaharuan Islam di Indonesia yang lebih lanjut dalam kajian ini akan dibahas
bagaimana latar belakang dan napak tilas sejarah berdirinya organisasi N.U dan
bagaimana peranan N.U dalam gerakan pembaharuan Islam di Indonesia.
Penulis,
Thibburruhany
BAB I
LATAR
BELAKANG
Embrio
gerakan pembaharuan dalam Islam atau tajdid
sebenarnya sudah sejak lama muncul pasca periode akhir masa pemerintahan
khalifah Ali bin abi-Thalib (abad 3 H), yang juga menandai berakhirnya masa Kurafaurrasyidin dan munculnya dinasti
Muawiyah, inilah yang disebut oleh Khoiro Ummatin sebagai episode baru dalam
dalam sejarah kebudayaan Islam[2].
Perubahan ini tidak hanya memiliki dampak terhadap peta politik Islam namun
juga berpengaruh terhadap dinamika corak pemikiran Islam dengan munculnya
berbagai macam aliran teologi Islam seperti Syiah, Mu’tazilah, Khawarij,
Maturidiyah, Asyariah. Perlahan namun pasti, setelah hampir berabad-abad
lamanya embrio gerakan pembaharuan Islam ini mulai menemukan bentuk yang rigid pada pertengahan abad ke-11 H.
Pada masa itu muncul seorang tokoh bernama Muhammad bin ‘Abdul Wahab yang membawa jargon purifikasi (pemurnian) akidah dalam gerakan dakwahnya. Tokoh inilah
yang kemudian disebut beberapa penulis sebagai mujaddid (pembaharu).
Gerakan
pembaharuan Islam di Indonesia dapat kita awali dengan kemunculan kerajaan
Islam Samudera Pasai di pulau Sumatra. Kemudian sepak terjang Walisongo yang
ikut berperan penting dalam penyebaran dan perkembangan Islam di pulau Jawa.
Hingga munculnya organisasi Sarekat Islam dan Muhammadiyah di tahun 1912.
Duapuluh tahun berselang, tepatnya ditahun 1926 lahirlah sebuah organisasi
bernama Nadhatul Ulama (kebangkitan
ulama). Banyak hal yang melatar belakangi kemunculan organisasi Islam, seperti
Sarekat Islam yang mengawali gerakan dakwahnya dengan perdagangan,
Muhamammadiyah dengan gerakan pembaharuan, dan Nadhatul Ulama (N.U) yang
muncul dengan latar belakang “politis” yang salah satunya adalah untuk merespon
gerakan pembaharuan yang dilakukan Wahabi di Arab Saudi.
Hal ini
menandakan bahwa meskipun Islam itu satu dari sudut ajaran pokoknya, akan
tetapi setelah terlempar dalam konteks sosial-politik tertentu pada tingkat
perkembangan sejarah tertentu pula agama bisa memperlihatkan struktur interen
yang berbeda-beda.[3]
Maka jika dilihat dari masalah yang menjadi dinding pembatas di antara beberapa
kelompok di atas, adalah bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam
sistem kehidupan sosial,[4]
antara Islam sebagai model of reality
dan Islam sebagai models for reality[5],
sehingga menciptakan setidaknya dua bentuk komunitas beragama yaitu antara folk
variant dan scholarly veriant, yang dalam konteks keindonesiaan
terwujud dalam bentuk komunitas NU dan komunitas Muhammadiyah. Yang pertama
sering diklaim sebagai kelompok tradisionalis, dan yang kedua sebagai kelompok
modernis. [6]
Pun-demikian,
NU yang selama ini dianggap sebagai organisasi tradisional dengan basis
pesantren justru memperlihatkan gairah progresivitas berpikir, dibandingkan
dengan organisasi modern yang malah tampak stagnan dan resisten. Kitab kuning
yang telah ditulis ulama berabad-abad lalu dan dijadikan salah satu referensi
utama nahdhiyin ternyata justru membuka wawasan yang membentang luas dalam
mencermati perubahan sosial. Pemahaman agama bergerak tidak lagi secara
tekstualis, tetapi kontekstual. Tentunya ini perlu dipandang sebagai kemajuan
di dalam NU. Hal ini diperkuat dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Arbiyah Lubis, ditemukan bahwa Muhammadiyyah termasuk dalam kelompok
tradisionalis modernis. Di mana Muhammadiyyah tampil sebagai modernis hanya
dalam dunia pendidikan, dan dalam memahami teks al Qur’an dan Hadith sebagai
sumber ijtihad, Muhammadiyyah berada dalam kelompok tradisonalis.[7]
Sementara dalam penelitian lain, Muhammad Azhar juga mengatakan bahwa dalam
beberapa hal, NU yang dianggap tradisional, ternyata lebih modern keimbang
Muhammadiyah. Sebagai contoh, proses penerimaan asas Pancasila, pendirian BPR
Nusumma, ternyata NU terkesan mendahului Muhammadiyah.[8]
A. Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama
Organisasi
Islam Nahdatul Ulama pertama kali
berdiri pada 16 Rajab 1344 H menurut kalender Islam atau pada tanggal 31
Januari 1926 menurut penanggalan masehi. Organisasi ini dipimpin oleh KH.
Hasyim Asyari sebagai Rais Akbar.[9]
Latar belakang pendirian organisasi NU ini tidak dapat dilepaskan dari faktor
sosial-politik dan keagamaan yang terjadi pada saat itu. Setidaknya ada dua
latar belakang yang melatar belakangi berdirinya organisasi ini yaitu latar
belakang kebangsaan atau nasionalisme dan agama. Pertama, adalah latar belakang kebangsaan (nasionalisme).
Kondisi bangsa
Indonesia yang sedang terkungkung oleh penjajahan yang dilakukan bangsa Belanda
pada saat itu menimbulkan keterbelakangan mental dan ekonomi yang dialami
bangsa Indonesia. Pada tahun 1908 muncul gerakan Kebangkitan Nasional yang
diinisiasi oleh kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa melalui
jalan pendidikan dan organisasi.Berangkat dari gerakan ini, kalangan pesantren
yang turut berjuang melawan kolonialisme membentuk organisasi pergerakan
seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan
Tanah Air) pada tahun 1916 yang diprakarsai oleh KH. Wahab Hasbullah
bekerjasama dengan KH. Abdul Kahar (seorang pengusaha kaya) di Surabaya dan
didukung oleh masyarakat berhasil mendirikan sebuah gedung bertingkat di
kampung Kawatan Gg. IV Surabaya yang kemudian dikenal sebagai perguruan Nahdlatul Wathon yang berarti Pergerakan Tanah Air. Tidak berhenti sampai disitu, di
tahun 1918 kalangan pesantren mendirikan sebuah organisasi bernama Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran),
sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri.
Selanjutnya didirikanlah Nahdlatut Tujjar,
(Pergerakan Kaum Sudagar) yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian
rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu,
maka Taswirul Afkar, selain tampil
sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat
pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.[10]
Organisasi-organisasi inilah yang nantinya menjadi embrio dari lahirnya sebuah
organisasi Islam bernama Nahdlatul Ulama. Sekaligus menjadi titik dimana
ditemukanlah tiga pilar penting bagi NU yaitu: (1) Wawasan Ekonomi kerakyatan,
(2) Wawasan Keilmuan, Sosial Budaya, dan (3) Wawasan Kebangsaan.[11]
Latar belakang
kedua yang tidak kalah pentingnya adalah latar belakang keagamaan dimana
perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu, diantaranya
adalah pada tahun 1924, Syarif Husein raja Hijaz ( Makah ) yang berfaham Sunni
(ahlus sunah wal jama’ah) ditakluk-
kan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi. Aliran Wahabi ini bentuk
ajarannya adalah melarang semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum Sunni, yang
sudah berlaku di Tanah Arab dan akan menggantinya dengan model Wahabi.
Pengamalan agama dengan sistem bermadzhab, tawasul,
maulid Nabi, ziarah kubur dan lain sebagainya akan segera dilarang. Dan bahkan
Raja Ibnu Saud juga ingin melebarkan pengaruh kekuasaannya ke seluruh dunia
Islam. Dengan dalih demi kejayaan Islam, ia berencana meneruskan kekhilafahan
Islam yang terputus di Turki pasca runtuhnya Daulah Usmaniyah.[12]
Gagasan kaum
wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik
kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII atau Sarekat
Islam di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren
yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan
penghancuran warisan peradaban tersebut. Sikapnya yang berbeda, kalangan
pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925,
akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam
Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Didorong oleh
minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta peduli
terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa
membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh
KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan
kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala
penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya
hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka
masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang
berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan
peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga. Berangkat dari komite
dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi
yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan
zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul
kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama yang
dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari. Dan untuk menegaskan prisip dasar organisasi
ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua
kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar
dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial,
keagamaan dan politik.
B. Paham Keagamaan NU
Merujuk pada
laman resmi organisasi NU, www.nu.or.id
paham keagamaan NU adalah Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir
yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli
(rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli
(skripturalis). Lebih lanjut :
“... Karena itu sumber hukum Islam bagi
NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal
ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari
pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al- Maturidi
dalam bidang teologi/ Tauhid/ketuhanan. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung
mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam
Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang
NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode
Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan
syariat. ...”[13]
C. Dinamika Nahdlatul Ulama dalam Politik Praktis
Sebagai sebuah
organisasi Islam yang bergerak di bidang agama, pendidikan, sosial budaya,
ekonomi, dan politik. Dinamika yang terjadi dalam tubuh organisasi Nahdlatul
Ulama tentu tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sosial-politik yang
terjadi di Indonesia. Seperti terjunnya NU kedalam politik praktis pada saat
menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian
mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan meraih 45 kursi DPR dan 91
kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai
yang mendukung Sukarno, dan bergabung dalam NASAKOM (Nasionalis, Agama,
Komunis) Nasionalis diwakili Partai Nasional Indonesia (PNI) Agama Partai
Nahdhatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia (PKI).[14]
Perjalanan NU
di ranah politik praktis dilanjutkan dengan kemudian menggabungkan diri dengan
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tanggal 5 Januari 1973 atas “desakan”
penguasa orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Hingga pada
tahun 1984, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Achmad Siddiq menarik gerbong NU
kembali ke “Khittah 1926” melalui muktamar NU di Situbondo. Diantara sikap
kembali ke khittah itu, NU menarik diri dari politik dan tak lagi menjadi
bagian dari PPP. Dan kemudian ormas keagamaan yang lebih tua 19 tahun dari usia
Republik ini menjaga jarak yang sama dengan seluruh parpol. Namun setelah
reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting
adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid.
Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan
Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52
kursi DPR.
Fase-fase yang
terjadi di tubuh organisasi NU ini menarik untuk diikuti sebab NU sebagai
gerakan Islam memberikan warna dan corak gerakan pembaharuan Islam yang terjadi
di Indonesia di setiap fasenya. Seperti pada saat terpilihnya tokoh NU,
Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI. Dengan membawa semangat pluralisme, KH
Abdurrahman Wahid memberikan perubahan segar terhadap “wajah” Islam tidak hanya
di Indonesia namun juga di dunia.
BAB II
ISI
Nahdlatul
Ulama dan Gerakan Pembaharuan Islam
Tidak
dapat dipungkiri, organisasi-organisasi yang berdiri sejak munculnya gerakan
Kebangkitan Nasional pada tahun 1908 memberikan dampak yang signifikan terhadap
dinamika di segala bidang. Termasuk juga gerakan-gerakan yang digawangi
organisasi Islam seperti Persatuan Sarekat Islam Indonesia, Muhammadiyah,
Persis, al-Irsyad, Al-jamiatul Washliyah dan Alittihadiyah. Tidak terkecuali
organisasi NU yang turut aktif bergerak dalam gerakan pembaharuan Islam di ranah
teoritis maupun praktis.
Nahdltaul
Ulama sebagai organisasi Islam tradisionalis menunjukkan bahwa pribumisasi
Islam memiliki urgensi terhadap dinamika sosial-kemasyarakatan. Mengadopsi apa
yang layak dalam tradisi untuk dikembangkan demi kepentingan masa kini dan masa
depan merupakan langkah pemaknaan yang paradigmatis. Karena sebuah
transformasi, baik pemikiran maupun sosial, harus beranjak dan menimba inspirasinya
dari tradisi. Maka, diperlukan ikhtiar untuk menggali hal- hal dalam tradisi
yang bisa mendukung transformasi. Dalam istilah Moch Abid al-Jabiri disebut al-tajdid min al-dakhil atau pembaruan
internal. Sebetulnya, jika pembaruan pemikiran selalu berlangsung dalam rangka
tradisi, usaha modernisasi akan berlangsung dalam perangkat tradisi yang
dinamis-dialogis. Sebab, tidak semua tradisi bertentangan dengan kemajuan.[15] Nurcholish
Madjid, tokoh intelektual Muslim Indonesia, juga mengatakan bahwa pola pemikiran
Neo-modernisme Islam akan muncul dari kalangan NU yang kaya khazanah klasik,
ketimbang Muhammadiyah, dan kini hal itu terbukti dengan munculnya Jaringan
Islam Liberal (JIL) yang tokohnya banyak didominasi oleh kalangan pemuda NU.
Gerakan
Kembali ke Khittah 1926
Melihat
perkembangan organisasi ini tidak dapat dipungkiri bahwa “Gerakan kembali ke
khittah 1926” menjadi tonggak awal masifnya pergerakan NU dalam pembaharuan
Islam. Meskipun banyak yang menilai bahwa gerakan kembali ke khittah ini adalah
faktor politik dan non-politik semata, namun disamping itu ada faktor lain yang
akhirnya membuat gerakan NU 1926 ini menjadi sebuah paradigma kebudayaan.
Menurut Tedi
Kholiludin, sebagai cara pandang ada tiga tema utama yang melatar belakangi
beridirinya NU yaitu integritas terhadap bangsa, independensi dari
kolonialisme, dan hak untuk berkeyakinan.[16]
Tiga konteks itulah yang menjadi kerangka paradigmatik bagi tafsir baru atas
khittah 1926 sebagai paradigma kebudayaan, bukan paradigma politik. Maka dari
itu, formulasinya jelas, bahwa khittah tersebut, adalah peduli terhadap
persoalan kebangsaan, kritis terhadap kekuasaan dan menjaga hak warga negara
untuk bebas beragama dan berkeyakinan.
Selain
itu, tokoh dibalik layar gerakan kembali ke khittah 1926 saat Muktamar NU di
Situbondo tahun 1984 tidak lain adalah tokoh generasi muda NU yaitu KH.
Abdurrahman Wahid. Pada masa Gus Dur, tema-tema seperti Aswaja, Halaqoh,
Bahtsul Masail, Fikih Siyasah dan lain-lain menemukan signifikansinya dengan
sentuhan pembaharuan pada aspek metodologisnya. Bahkan pada masa ini, muncul
diskursus baru tentang fiqih perempuan. Tema ini cukup baru dan NU bisa
dikatakan berhasil memberikan justifikasi teologis atas argumen kesetaraan
gender. Padahal, wacana gender, awalnya masuk ke Indonesia dengan sangat
sekuler. Menurut Djohan, perkembangan wacana yang begitu menggeliat, tidak lepas
dari dua faktor. Pertama, keputusan NU untuk kembali pada Khittah 1926. Kedua,
pilihan untuk memilih duet Gus Dur dan Kiai Achmad Siddik sebagai pimpinan NU.
Saat itu, dua tokoh tersebut, merupakan representasi “tipe lain” dari pimpinan
NU yang lebih mendorong NU konsisten di jalur sosial budaya daripada
sosial-politik. Kehadiran keduanya membawa semangat intelektual baru diantara
generasi muda NU. Salah satu kontribusi Kiai Achmad Siddik adalah membuat
memasarkan tajdid bukan sebagai sesuatu yang perlu ditakuti. Di saat
yang sama, Gus Dur menjadi payung bagi generasi muda NU untuk mengembangkan
tradisi intelektual.
Generasi Muda NU
Generasi
muda NU inilah yang memberikan corak pemikiran dan perubahan orientasi NU dalam
gerakan sosial sebagai upaya strategi pembaharuan. Sekaligus menjadi gerakan
kritik sebagai counter wacana terhadap isu-isu yang berkembang, khususnya yang
menyangkut ideologi NU. Sebuah desertasi Ahmad Ali Riyadi tentang pembaharuan
yang dilakukan generasi muda NU menunjukkan bahwa NU sebagai organisasi Islam
tidak hanya terjebak pada persoalan-persoalan teologis semata namun juga
memiliki komitmen terhadap problematika sosial politik dimana tema-tema yang
diusung oleh kaum muda NU lebih menekankan terhadap problem-problem kemanusiaan
kontemporer melalui penelusuran doktrin, sejarah, dan kajian kontemporer untuk
menemukan makna Islam yang mampu menjawab persoalan kemanusiaan sebagai upaya
kontekstualisasi pemahaman agama yang diimplementasikan ke dalam gerakan
pengembangan masyarakat dengan pendekatan praktis dan teoritis. Dimana di
tataran teoritis mereka membangun teori-teori alternatif dengan apa yang
disebut Islam kritis, Islam emansipatoris, Islam liberal, dan Islam progresif.[17] Ada
tiga faktor yang melatarbelakangi perkembangan generasi muda NU saat itu.
Pertama, eksistensi pengetahuan yang terformulasikan dalam paradigma mazhabiyyah.
Tradisi ini berkembang dalam lingkup pesantren sebagai cultural
institution dan ada dalam tradisi bahtsul masail sebagai forum diskursus
intelektual. Tradisi bermazhab ini kemudian diberikan sentuhan dengan menggeser
paradigma dari bermazhab secara qawli menuju mazhab manhajiy. Kedua,
kehadiran pesantren sebagai infrastruktur cultural yang mendorong kesinambungan
institusi lokal dan tradisional tetapi di saat yang sama terbuka akan perubahan
dan pengembangan. Ketiga, Kiai yang memainkan peran tidak hanya sebagai
pemimpin agama tetapi juga pemimpin sosial.
Usaha
di Bidang Ekonomi
Selain
pembaharuan dalam bidang pemikiran Islam, geliat NU dalam gerakan pembaharuan
Islam Indonesia di bidang ekonomi juga tidak dapat dianggap remeh. Bermodalkan
sejarah Nahdlatut Tujjar, KH. Hasyim Asy’ari menguraikan tentang problemproblem
keumatan yang terkait erat dengan soal ekonomi. KH. Hasyim Asy’ari kemudian
memelopori dan menuntut kepedulian para ulama, karena merekalah pemimpin dan
teladan umat. Apabila basisbasis dan simpul-simpul kemandirian ekonomi tidak
dibangun, selain para ulama telah berdosa, bangsa ini juga akan terus terpuruk
dalam kemiskinan, kemaksiatan, dan kebodohan akibat dari kuatnya pengaruh
kolonial.
Yang tidak kalah menarik, sebagaimana dicatat
Adien Jauharudin, sejak awal pendiriannya, Nahdlatut Tujjar ternyata telah
mengenal dan menerapkan manajemen organisasi modern. Pembagian struktur
organisasi dan pembagian kerja, di mana ada para pendiri, kepala perusahaan,
direktur, sekretaris, marketing, dan pengawas keliling sudah dipraktikkan di
Nahdlatut Tujjar. KH. Hasyim Asy’ari dipilih sebagai kepala perusahaan dan
mufti (semacam komisaris), KH. Wahab Hasbullah sebagai direktur perusahaan, H.
Bisri sebagai sekretaris perusahaan, dan Syafi’i sebagai marketing sekaligus
pengendali perusahaan. Selain itu, konsep investasi usaha juga mengemuka dalam
bentuk sederhana, yang di era sekarang dikenal dengan profit share. Pembagian
keuntungan 50% menjadi kesepakatan bersama, tetapi masih boleh dikembalikan
untuk memperkuat modal. Dengan begitu, Nahdlatut Tujjar didirikan bukan hanya
untuk membangun basis perekonomian para ulama, melainkan menjaga tradisi
perdagangan yang sudah ada sejak sebelum datangnya kolonial dan turut
menciptakan pasar sendiri di daerah Surabaya, Kediri, dan Jombang. Lebih dari
itu, Nahdlatut Tujjar juga memiliki cita-cita ideal untuk membebaskan
masyarakat dari kemiskinan, kemaksiatan, dan kebodohan. Hingga pada tahun 1995
NU sudah mendirikan Bank Pengkreditan Rakyat (BPR) yang diberi nama NUSUMA
UTAMA.
Usaha di Bidang Sosial-Kemasyarakatan
Secara
garis besar pokok perjuangan atau orientasi gerakan NU di bidang sosial
kemasyarakatan dapat dibagi menjadi dua fase yaitu fase sebelum dan sesudah
munculnya Gerakan kembali ke khittah 1926 pada Muktamar NU Situbondo 1984.
Termasuk di bidang sosial-kemasyarakatan, menurut A. Sunarto A.S. ada dua
alasan pokok yang dikemukakan oleh Gusdur terkait pribumisasi Islam. Pertama,
alasan historis bahwa pribumisasi Islam merupakan bagian dari sejarah Islam.
Baik di negeri asalnya maupun negeri lain termasuk Indonesia. Kedua, proses
pribumisasi Islam berkaitan erat antara fikih dengan adat. Menurutnya, adat
tidak mengubah nash, melainkan hanya mengubah atau mengembangkan
implementasinya agar lebih fleksibel.[18]
Kegiatan
sosial kemasyarakatan NU di bidang pendidikan sangat terlihat adalah dengan
adanya pesantren pada fase awal berdirinya NU. Tujuannya tidak lain adalah
menanamkan pendidikan agama dan memberikan cakrawala pengetahuan bagi kalangan
pribumi di masa kolonialisme Belanda. Hingga kemudian untuk menjawab
perkembangan jaman yang menuntut NU untuk membentuk sebuah sistem pendidikan
yang memiliki struktur formal, maka beridirilah lembaga pendidikan Maarif dan
pondok pesantren dibina oleh RMI (Rabithah Maahid Al Islamiyah). Kemudian pada
tahun 1997 telah didirikan lembaga kemaslahatan keluarga Nahdlatul Ulama
(LKKNU) sebagai kelanjutan dari program Muslimat NU yang lebih dulu bergerak
mengurusi masalah kependudukan sejak tahun 1969. Program-program LKKNU terutama
ditujukan pada warga NU dan lembaga-lembaga yang dimilikinya untuk merealisasikan
maksudnya sebagaimana telah tersebut diatas maka LKKNU kemudian
menyelenggarakan lokakarya tentang KB dan kependudukan dipesantren-pesantren.
Pelatihan para penyuluh KB yang sesuai dengan syariat agama Islam dan pelatihan
guru, serta mengadakan studi banding tentang pengembangan KB ke luar negeri
seperti, Mesir, Tunisia, Turki dan Filiphina.[19]
Kegiatan
sosial-kemasyarakatan NU mulai menemukan signifikansinya pasca Muktamar di
Situbondo tahun 1984. Pada saat itu, muncul kader-kader muda NU seperti Abdurrahman
Wahid, Fahmi Saifuddin, dan Mustofa Bisri. Dari sini, muncul wacana-wacana baru
dimana kemudian perkembangan pemikiran ini tidak hanya berlaku pada tataran
teologis namun juga berbicara pada tataran sosial-kemasyarakatan. Konsekuensi
ini kemudian memunculkan corak baru pada dunia pemikiran Islam dengan adanya
teori-teori alternatif berupa Islam progresif, Islam emansipatoris, Islam
liberal, dan Islam kritis.[20]
Teori-teori alternatif ini diwujudkan dalam tataran praktis melalui penelusuran
doktrin, sejarah, dan kajian kontemporer untuk menemukan makna Islam yang mampu
menjawab persoalan kemanusiaan. Refleksi perubahan tersebut diimplementasikan
dalam bentuk produk baru seperti fiqh perempuan yang muncul dalam merespon isu
gender yang muncul di Barat. Tidak kalah pentingnya adalah pemikiran Gus Dur
mengenai paham pluralism[21]
dimana kemudian muncul gerakan-gerakan Islam toleran dan Islam liberal.
Usaha
di Bidang Politik
Menurut
KH. Ahmad Mustofa Bisri, setidaknya ada 3 jenis politik dalam pemahaman Nahdlatul Ulama, yaitu politik
kebangsaan, politik kerakyatan dan politik kekuasaan. Nahdlatul Ulama sejak berdiri memang melakukan
aktivitas politik, terutama dalam pengertian yang pertama, yakni politik kebangsaan, karena Nahdlatul Ulama sangat
berkepentingan dengan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Napak tilas gerakan NU diawali
dengan munculnya ideologi Pancasila sebagai pondasi bangsa Indonesia. Peranan
NU termuat dalam sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Peta
politik NU kemudian dilanjutkan dengan berubahnya NU menjadi partai politik di
tahun 1955 setelah sebelumnya bergabung dengan Masyumi bersama organisasi Islam
lainnya. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung
Sukarno, dan bergabung dalam NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) Nasionalis
diwakili Partai Nasional Indonesia (PNI) Agama Partai Nahdhatul Ulama dan
Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah itu NU maju ke panggung politik praktis
bersama Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Hingga kemunculan gerakan kembali ke khittah
1926 pada tahun 1984 melalui Muktamar di Situbondo yang merubah orientasi NU
sebagai jamiyah diniyah dan memutuskan untuk tidak berpolitik. Masa
reformasi yang menjadi tanda berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru
merupakan sebuah momentum bagi Nahdlatul Ulama untuk melakukan pembenahan diri.
Selama rezim orde baru berkuasa, Nahdlatul Ulama cenderung dipinggirkan oleh
penguasa saat itu. Ruang gerak Nahdlatul Ulama pada masa orde baru juga
dibatasi, terutama dalam hal aktivitas politiknya. Pada masa reformasi inilah peluang Nahdlatul
Ulama untuk memainkan peran pentingnya di Indonesia kembali terbuka. Nahdlatul
Ulama yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia, pada awalnya lebih
memilih sikap netral menjelang mundurnya Soeharto. Namun sikap ini kemudian
berubah, setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah
pandangan untuk merespon proses reformasi yang berlangsung di Indonesia, yang
dikenal dengan Refleksi Reformasi. Refleksi reformasi ini berisi delapan butir
pernyataan sikap dari PBNU. Pasca reformasi 1998peta politik NU di kembangkan oleh
tokoh-tokoh dengan basis NU seperti Abdurrahman Wahid yang mendeklarasikan
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai ini juga yang kemudian mengantarkan Gus
Dur sebagai presiden Republik Indonesia di tahun 1999.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
semua ini tergambar sebuah milestone atau
napak tilas gerakan pembaharuan Islam diawali dari terbentuknya
organisasi-organisasi Islam di masa kolonialisme, berlanjut di fase post-kolonialisme dengan terjunnya
organisasi Islam di ranah politik praktis, di fase selanjutnya muncul gerakan modernisasi yang digawangi oleh kaum
puritan Islam yang didominasi oleh kalangan Muhammadiyah, setelah itu di fase neo-modernisasi muncul pemikiran dan
pemahaman Islam progresif untuk merespon gerakan pembaruan dalam Islam yang
dilakukan oleh kaum puritan. Kemunculan pemikiran dan pemahaman Islam progresif
ini dipelopori oleh kaum muda Nahdalatul Ulama. Ini menunjukkan bahwa pada
dasarnya gerakan pembaharuan Islam khususnya di Indonesia tidak melihat
bagaimana main idea pada sebuah
organisasi Islam, namun geliat sosial-kemasyarakatan-lah yang sebenarnya
menjadi faktor kunci terhadap perkembangan gerakan pembaharuan Islam ini baik
di tingkatan teoritis maupun praktis.
Saran
Setelah
melakukan kajian ini ada beberapa hal yang patut menjadi bahan pertimbangan
baik dari segi akademis maupun agamis. Dimana gerakan pembaharuan yang
dilakukan organisasi Nahdlatul Ulama ini mengajarkan bahwa proses keilmuan dan
keagamaan dapat berjalan secara beriringan. Artinya bahwa pembelajaran melalui
proses berpikir dapat dikembangkan seluas-luasnya namun tetap berpegang teguh
pada pedoman agama. Dan pemaknaan bahwa agama sebagai pedoman hidup memiliki
sifat yang fleksibel dan dinamis. Tafsir dan intepretasi terhadap doktrin
keagamaan berjalan sesuai dengan perkembangan dan perubahan jaman.
DAFTAR
PUSTAKA
Ananta Toer, Pramudya. Mangir.
2000.Jakarta: KPG,
‘Abduh, Muhammad,
Rislah Taud, Terj. B. Michel dan Mustafa Abdul Raziq (Paris: t.t.p, 1925),
Achmad Hasyim Muzadi dkk, Profil dan DIrektori Nahlatul
Ulama dari masa ke masa (Jakarta:
PT.Yellow Multi Media, 2009) hlm. 34-35.
A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (jakarta:
Rajawali, 1988) Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3S, 1996),
Alfaruqi, Jabir, Wakil Ketua PW GP Ansor Jawa Tengah. NU,
Fundamentalisme, dan Liberalisme.
harian Kompas, 28 Juli 2006
Azra, Azyumardi, Suplemen Republika, Kamis, 14 Maret 2002,
Donald
Eugene Smith. Agama dan Modernisasi Politik: Suatu Kajian Analitis (Jakarta:
Rajawali Press, 1985)
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3S,
1996)
Ummatin, Khoiro. Sejarah
Islam dan Budaya Lokal; Kearifan Islam atas Tradisi Masyarakat. 2015. (Kalimedia: Yogyakarta)
Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban (Yogyakarta: Ittaqa Press,
2001)
A. Sunarto AS, Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.2, Oktober
2013
Desertasi. Ahmad Ali Riyadi. Gerakan Pembaharuan Islam Kaum Muda Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia 1990-2005. Program Pascasarjana UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2006, hlm. 219
http://www.nu.or.id/a,public-m,static-s,detail-lang,id-ids,1-id,6-t,sejarah-.phpx, terakhir diakses pada 1 Desember 2015
http://www.nu.or.id/pahamkeagamaan-.phpx,
terakhir
diakses pada 1 Desember 2015
https://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_%27Ulama,
terakhir diakses pada 1 Desember
2015
Said Aqil Siradj .NU, Tradisi dan Kebebasan Pikir, http://www.nu.or.id/, terakhir diakses pada 5 Desember 2015
Tedi Kholiludin, NU dan Tradisi Pembaharuan, http://elsaonline.com/?p=885 terakhir diakses pada 6
Desember 2015
http://aswajanu86.blogspot.co.id/2015/09/peranan-nahdlatul-ulama-.htm,
diakses
pada 4 Desember 2015
[2]
Ummatin, Khoiro. Sejarah Islam dan Budaya
Lokal; Kearifan Islam atas Tradisi Masyarakat. 2015. (Kalimedia:
Yogyakarta), hlm. 72
[5]
Yang pertama mengisyaratkan bahwa Islam adalah representasi dari sebuah
realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa Islam merupakan konsep bagi
realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini Agama
mencakup teori teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas. Bassam Tibi,
Islam and the Cultural, 8.
[6]
Pembagian kaum modernis dan tradisionalis ini berdasarkan pada kajian Clifford
Geerzt pada tahun 1950-1960-an tentang pembagian masyarakat Jawa menjadi tiga
kelompok : santri, priyayi, dan abangan. Kemudian ia membagi kelompok santri
menjadi dua: kaum modernis (Muhammadiyah) dan tradisionalis (NU). Ia menilai NU
dan pesantren sebagai organisasi yang anti modern dan kontra pembaharuan.
(Ahmad Ali Riyadi. Gerakan Pembaharuan Islam
Kaum Muda Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia 1990-2005)
[9]
http://www.nu.or.id/a,public-m,static-s,detail-lang,id-ids,1-id,6-t,sejarah-.phpx, terakhir diakses
pada 1 Desember 2015
[10]
Achmad Hasyim Muzadi dkk, Profil dan DIrektori Nahlatul Ulama dari masa ke
masa (Jakarta: PT.Yellow Multi Media, 2009) hlm. 34-35.
[13]
http://www.nu.or.id/a,public-m,static-s,detail-lang,id-ids,1-id,6-t,pahamkeagamaan-.phpx,
terakhir diakses pada 1 Desember 2015
[15]
Said Aqil Siradj .NU, Tradisi dan Kebebasan Pikir, http://www.nu.or.id/, terakhir diakses pada 5 Desember 2015
[16]
Tedi Kholiludin, NU dan Tradisi Pembaharuan, http://elsaonline.com/?p=885 terakhir
diakses pada 6 Desember 2015
[17]
Desertasi. Ahmad Ali Riyadi. Gerakan
Pembaharuan Islam Kaum Muda Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia 1990-2005.
Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2006, hlm. 219
[21]
Publik Indonesia hingga kini tetap mengakui kontribusi NU dalam hal kerukunan
umat beragama. Jajak pendapat yang dirilis Harian KOMPAS pada 15 Maret
2010 menunjukkan bahwa secara konsisten diperoleh tingkat kepuasan tertinggi
responden (80,6 persen) terhadap peran NU dalam penciptaan iklim toleransi
antarumat beragama. Setelah itu, berturut-turut dalah hal memajukan pendidikan
masyarakat (61,7 persen) dan memajukan demokrasi (60,8 persen).
About Thibburruhany
Hi, My Name is Hafeez. I am a webdesigner, blogspot developer and UI designer. I am a certified Themeforest top contributor and popular at JavaScript engineers. We have a team of professinal programmers, developers work together and make unique blogger templates.