Subscribe & Follow

Kamis, 14 Januari 2016

Tag: ,

Gerakan Dakwah Muhammad ibn Abdul Wahab (Makalah)

LATAR BELAKANG

 

            Aliran dalam Islam mulai tampak pada saat perang Siffin (37 H) khalifah 'Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah. Pada saat tentara 'Ali dapat mendesak tentara Mu'awiyah maka Mu'awiyah meminta diadakan perdamaian. Sebagian tentara 'Ali menyetujui perdamaian ini, dan sebagian lagi menolaknya. Kelompok yang tidak setuju ini akhirnya memisahkan diri dari 'Ali dan membentuk kelompok sendiri yang akhirnya terkenal dengan nama Khawarij. Mereka menganggap Ali, Mu'awiyah dan orang-orang yang menerima perdamaian ini telah berbuat salah (dosa besar) karenanya mereka bukan mukmin lagi dan boleh dibunuh. Masalah dosa besar ini kemudian menimbulkan 3 aliran teologi dalam Islam yaitu : Khawarij, Murji'ah dan Mu'tazilah. Masalah kepemimpinan ini kemudian menyebabkan munculnya kelompok yang menganggap yang berhak adalah 'Ali dan keturunannya (Syi'ah) dan kelompok yang berseberangan dengannya (Ahlus Sunnah wal Jama'ah). Dan akibat pengaruh agama lain dan filsasat pada umat Islam maka muncullah kelompok yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkendak dan perbuatannya (Qadariyyah) dan kelompok yang berpendapat sebaliknya (Jabariyyah). Setelah itu banyak bermunculan aliran-aliran baru dalam agama Islam.

           

            Pada pertengahan abad ke-11 H, kaum muslimin di Jazirah Arab dan seluruh dunia pada umumnya digemparkan dengan munculnya sosok Muhammad bin ‘Abdul Wahab. Pandangan-pandangan barunya telah mengusik tatanan ideologi kaum muslimin yang mapan pada saat itu. Dalam dakwahnya, ia mengangkat jargon purifikasi (pemurnian) akidah dari segala hal yang ia pandang telang menyimpang dari aturan-aturan agama. Seperti pada contohnya di masa itu kaum muslimin memiliki tradisi untuk mengunjungi makam-makam pejuang Islam terdahulu. Gerakan dakwah yang dipelopori oleh Ibnu Abdul Wahab dalam dunia Islam dikenal dengan sebutan Wahabi[1]. Semenjak pertama kali muncul, dakwah ini selalu menjadi momok bagi sebagian besar kaum muslimin. Pandangan keagamaannya yang kaku dan kurang bisa berkompromi dengan perbedaan menjadikan Ibnu Abdul Wahab sebagai “common enemy” bagi berbagai mazhab yang berkembang dalam Islam. Namun, biar bagaimanapun gerakan dakwah ini masih sangat eksis hingga hari ini.


 

BAB I

PENDAHULUAN

 

            Wahabi Salafi adalah suatu aliran yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab yang dilahirkan pada 1115 H/1701 M. Muhammad bin Abdul Wahab kemudian disebut sebagai pembaharu (mujaddid) dan melakukan pergerakan yang mengklaim sebagai pemurnian akidah. Ia juga menulis puluhan makalah dan kitab yang sebagian mendapat syarahan dari pengikutnya. Dalam satu kitabnya berjudul Kasfu Subhat, Muhammad membagi tauhid menjadi tiga, yaitu tauhid Rububiyah, tauhid Uluhiyah, dan tauhid Asma’ was Shifat. Pembagian ini juga diklaim berpedoman kepada al-Quran.

 

            Pembagian dan membedakan tauhid Rububiyah (Rab) dan Uluhiyah (Ilah) telah menimbulkan pernyataan bahwa semua orang-orang murtad, kafir dan orang-orang musyrik yang mengakui Allah sebagai pencipta dan pengatur alam sama dengan orang-orang mukmin dalam tauhid Rububiyyah. Seorang muslim yang melakukan ziarah kubur, tawwassul, tabarruk, istighasah diklaim tidak bertauhid Uluhiyah karena ibadahnya tidak lagi murni kepada Allah. Implikasinya kemudian adalah mengkafirkan atau memusyrikkan orang-orang Islam yang melakukan beberapa ibadah ini. Meskipun perkara ini sudah ada tuntunan dari Rasulullah, sahabat dan ulama salaf berdasarkan hasil ijtihad. Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan bahwa: “Pengakuan mereka dengan tauhid Rububiyah saja tidak tergolong mereka dalam Islam. Dan bahwa kasad mereka akan Malaikat, Nabi dan aulia Allah yang mereka inginkan syafaat dan dekat kepada Allah dengan demikian telah mengakibatkan halal darah dan harta mereka.” (Kasfu Subhat, hal. 13).

 

            Membicarakan sosok Ibnu Abdul Wahab sebagai founding father-nya Wahabi memang penuh kontroversi namun akan sangat relevan untuk kita diskusikan bersama ketika berbicara dalam konteks negara Indonesia. Dalam beberapa dekade belakangan, kontroversi Wahabi sedang marak menjadi perbincangan publik sebab selain masifnya dakwah bil website yang dilakukan oleh golongan ini, juga beberapa media massa sempat menyinggung hubungan kaum Wahabi dengan jaringan terorisme. Namun disini penulis tidak akan membahas hal tersebut lebih lanjut, penulis akan membicarakan tema Wahabi ini dari sosok Ibnu Abdul Wahab, pemikiran dan gerakan dakwahnya. Karena meskipun kontroversial, gagasan-gagasan dan gerakan Ibn Abdul Wahab memberikan warna dan dampak yang kuat dalam perkembangan pemikiran Islam.

BAB II

BIOGRAFI MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB

 

A.    MASA KECIL

      Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin Barid bin Musyarraf at Tamimi lahir pada tahun 1115 H/ 1703 M di daerah Uyainah yang merupakan bagian dari Najd, terletak 70 km di utara Riyad[2]. Semenjak kecil ia belajar agama kepada para ulama yang berada di Makkah dan Madinah serta ke beberapa daerah seperti Ihsa` dan Basrah.[3]

 

      Menurut seorang ulama Wahabi Husain Ibnu Ghunnam dalam kitabnya Tarikh Najd mengatakan bahwaMuhammad bin Abdul Wahab sejak kecil sangat pintar dan cerdas. Sulaiman -saudaranya- meriwayatkan bahwa ayah mereka memiliki firasat yang baik padanya, dan kagum dengan kecerdasan anaknya tersebut. Bahkan dikatakan ayahnya banyak belajar hukum Islam kepada anaknya yang masih kecil itu. Ayahnya pun menulis surat kepada saudaranya dan menuturkan bahwa putranya ini telah dewasa (baligh) dan telah dijadikan imam dalam shalat jama’ah bersama masyarakat. Ayahnya kemudian menikahkannya pada umur 12 tahun –tidak lama setelah mencapai usia baligh-, lalu mengizinkannya untuk menunaikan ibadah haji. Maka Muhammad bin Abdul Wahab kecil pun berangkat haji bersama ayahnya. Setelah selesai melaksanakan ibadah haji, ayahnya kembali ke Uyainah sementara Muhammad bin Abdul Wahab tetap tinggal di Mekah selama beberapa waktu dan menimba ilmu di sana. Setelah itu, ia pergi ke Madinah untuk untuk berziarah dan belajar agama berguru kepada ulama disana. Di Madinah, ia berguru kepada dua orang ulama yaitu Syeikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi.[4]

 

B.     MASA AWAL DAKWAH

      Di Madinah, para ulama Makkah dan Madinah saat itu menganggap bahwa banyak pernyataan-pernyataan yang dibawa Muhammad bin Abdul Wahab bertentangan dan berlawan dengan ajaran ahlussunnah wal jama’ah. Tidak heran, bantahan dan sikap penolakan atas ajaran yang ditawarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab inipun mengalir deras dari para ulama Makkah dan Madinah saat itu, sampai akhirnya dia terusir ke daerah Najd pada tahun 1142 H, dan di daerah inilah dia berusaha mengatur siasat dakwah yang dia yakini (Lihat: Al Maqâlât Al Wafiyyah Syekh Hasan Khazbik, hal: 128).[5]

 

      Muhammad bin Abdul Wahhab pun mulai menyebarkan ajarannya di Basrah setelah tidak diterima di Makah dan Madinah. Di sana ia berbincang dengan beberapa ulama’ fuqaha’ lalu memberikan dan menyatukan beberapa pandangan baru dan lama, akan tetapi dia justru dimarahi dan diusir lagi. Dia pun mengungsi ke Mesir. Namun, keadaannya di Mesir pun tidak berbeda dengan di tempat-tempat sebelumnya. Akhirnya ia pun diusir lagi dan memutuskan pergi ke Syam. Lagi-lagi di Syam ia mengalami pengusiran serupa maka ia kembali lagi ke Najed melarikan diri ke Uyainah tempat kelahirannya. Saat itu Amir Uyainah yang bernama Ustman bin Mua’ammar sempat bersahabat dengannya dan bahkan menikahkan anak perempuannya dengannya. Meski begitu, Amir Uyainahah akhirnya mengusirnya dan terpaksa ia harus meninggalkan Uyainah. Muhammad bin Abdul Wahab diusir oleh penduduk Uyainah karena sikap dan gagasan ekstrimnya yang terus menerus menyebarkan pandangan barunya. Ia tidak segan-segan mengkafirkan semua penduduknya, baik ulama’nya hingga kaum awamnya. Alhasil penolakan terjadi dimana-mana bahkan dengan ayahnya sendiri terjadi perselisihan hebat. Keadaan tersebut terus berlanjut hingga tahun 1153H/1740M, saat ayahnya meninggal dunia.

 

      Sejak ayahnya meninggal, Muhammad bin Abdul Wahab serasa mendapat angin segar karena ia tidak lagi mendapat tantangan dari orang terdekatnya yakni ayahnya. Ia pun tidak lagi terikat dan secara terang-terangan bebas mengemukakan akidah-akidahnya sekehendak hatinya, menolak dan mengesampingkan amalanamalan agama yang dilakukan umat Islam saat itu. Dia mulai merencanakan strategi baru guna menyebarkan ajarannya dengan menyusun sebuah gerakan atau barisan yang ia namakan ahli tauhid (Muwahhidin) yang diyakininya sebagai gerakan yang memurnikan dan mengembalikan akidah Islam. Oleh lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah. Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah.

 

C.    GERAKAN DAKWAH DI UYAINAH

       Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman bin Muammar. Amir Usman menyambut ide dan gagasan Muhammad ibn Abdil Wahhab dan berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan tersebut meski mendapat penolakan dari penduduk setempat. Suatu ketika, Muhammad bin Abdul Wahab meminta kepada Amir Usman untuk menghancurkan sebuah bangunan yang dibuat di atas makam Zaid bin al-Khattab. Perlu diketahui, Zaid bin al-Khattab adalah saudara kandung sahabat Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Menurut pandangannya membuat bangunan di atas kubur dapat menjerumuskan umat kepada kemusyrikan. Amir Usman menjawab “Silakan… tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi rencana yang mulia ini.” Tetapi Muhamamd bin Abdul Wahab khawatir masalah itu kelak akan dihalang-halangi oleh penduduk yang tinggal berdekatan dengan makam tersebut. Lalu Amir menyediakan 600 orang tentara untuk tujuan tersebut bersama-sama Muhammad ibn Abdil Wahhab merobohkan makam suci itu. Makam itu kemudian dihancurkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab atas bantuan Amir Uyainah, Usman bin Muammar.

 

      Pergerakan Muhammad bin Abdul Wahhab tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian menghancurkan beberapa makam lain yang dipandangnya berbahaya bagi ketauhidan. Hal ini menurutnya adalah untuk mencegah agar makam tersebut tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam setempat. Sikap dan tindakan ekstrim Muhammad bin Abdul Wahab terdengar luas sampai keluar wilayah Uyainah dan tercium oleh pemerintah Ahsa. Mendengar berita tersebut, pemerintah Ahsa memerintahkan Amir Uyainah untuk menghentikan kelakuan ekstrim yang merusak yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab. Amir Uyainah kemudian memanggil Muhammad bin Abdul Wahhab dan memerintahkannya untuk meninggalkan daerah Uyainah. Muhammad bin Abdul Wahhab terpaksa mengungsi ke daerah lain dan dia berhasil diusir oleh penduduk setempat karena dinilai ajarannya yang ekstrim dan sesat. Tidak segan-segan dia mengkafirkan semua penduduknya, baik ulamanya hingga kaum awamnya. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 8 halaman 57) Muhammad bin `Abdul Wahab kemudian pergi ke wilayah Dir’iyyah. Dari Dir’iya inilah ajaran Muhammad bin Abdul Wahab bak menemukan telaga di tengah gurun pasir yang panas.

 

D.    GERAKAN DAKWAH ABDUL WAHAB DIR’IYYAH

      Sesampainya Muhammad bin Abdul Wahhab di sebuah kampung wilayah Dir’iyyah yang tidak jauh dari tempat kediaman Amir Muhammad bin Saud (penguasa Dir’iyyah), dia menemui seorang penduduk di kampung itu, orang tersebut bernama Muhammad bin Suwailim al-`Uraini. Peraturan di Dir’iyyah ketika itu mengharuskan setiap pendatang melaporkan diri kepada penguasa setempat, maka pergilah Muhammad bin Suwailim menemui Amir Muhammad bin Saud untuk melaporkan kedatangan Muhammad bin Abdul Wahab yang baru tiba dari Uyainah untuk mendapat perlindungan dan dukungan.

 

      Pertemuan Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ibnu Saud ini menjalinkan kesepakatan dan persetujuan untuk membentuk agama baru secara resmi, di dalam ranah kekuatan politik, ketenteraan dan peperangan pada 1165H / 1744M. Pertemuan tersebut dirasa sangat tepat, karena keduanya saling membutuhkan; Ibnu Sa’ud membutuhkan agamawan untuk menguatkan basis dukungan politiknya, sementara Ibnu Abdil Wahab membutuhkan penguasa untuk menjamin proses penyebaran ideologinya (Lihat: Tarikh Ali Sa’ud, hal: 9.). Amir Ibnu Saud yang kemudian menjadi pengikut dan pendukung penuh Muhamamd bin Abdul Wahhab, memanfaatkannya untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Dia sendiri sangat patuh pada perintah Muhammad bin Abdul Wahab. Jika disuruh untuk membunuh atau merampas harta seseorang, dia segera melaksanakannya dengan keyakinan bahwa kaum muslimin telah kafir dan syirik selama 600 tahun lebih, dan membunuh orang musyrik dijamin surga.

 

      Sejak saat itu, Dir’iyyah telah menjadi penyebaran ajaran Muhammad ibn Abdil Wahhab. Para pengikutnya pun terus bertambah berkat dukungan politik kekuasan Amir Ibnu Saud, bahkan sampai di seluruh pelosok Dir’iyyah. Setelah mendapat cukup dukungan dan kekuasaan, Muhammad bin Abdul Wahhab mulai melancarkan serangan bersama pengikutnya barisan Muwahidin dan dia namakan sebagai jihad. Dia pun menulis surat-surat ajakannya kepada tokoh-tokoh tertentu untuk bergabung dengan gerakan barisan Muwahhidin yang dipimpin oleh dia sendiri. Menurutnya, pergerakan ini merupakan pembaharuan tauhid demi membasmi syirik, bidah dan khurafat di negeri mereka masing-masing. Untuk langkah awal pergerakan itu, dia memulai di negeri Najed. Ia pun mula mengirimkan surat-suratnya kepada ulama-ulama dan penguasa-penguasa di sana.


 

BAB III

PEMIKIRAN MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB

 

A.    SPIRIT “TAKFIR” IBNU ABDIL WAHAB; (Statemen “Takfiri” dalam Kitab Dan Risalahnya)

      Nampaknya Ibnu Abdil Wahab terlalu berlebihan dalam mewujudkan keinginannya untuk melakukan purifikasi tauhid dalam setiap ritme dakwahnya. Hal ini menyebabkan adanya pengkafiran terhadap kaum muslimin secara besar-besaran yang dengan sengaja maupun tidak telah ia lakukan dalam beberapa kitab dan risalahnya. Sikap takfiri (suka mengkafirkan) merupakan sikap paling mashur yang disematkan para ulama kepada IAW. Oleh karenanya, sebagian ulama menyamakan kelompok wahabi dengan kelompok Khawarij yang terkenal suka mengkafirkan di era sahabat.

     

      Vonis takfir merupakan legalisasi awal bagi para pengikutnya untuk membantai kaum muslimin yang tidak sepaham dalam banyak peperangan yang terjadi antara kelompok wahabi dengan kaum muslimin. Takfir dan perang ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan dan menjadi pilihan IAW dalam menyebarkan ideologinya. Hal ini sangat kentara jika kita membaca pesan-pesannya dalam beberapa tulisannya, seperti Al Qawaaid Al Arba’ah, Kasyfu Asy Syubhat, Kitab Tauhid dan lain-lain. Dalam kitabkitabnya tersebut, setiap kali ia selesai mensejajarkan identitas kaum muslimin (non-wahabi) dengan kaum musyrikin di zaman Nabi, ia senantiasa menutupnya dengan informasi bahwa Nabi SAW. memerangi kaum musyrikin tersebut. Hal ini untuk mendoktrin para pengikutnya agar tidak gentar untuk memerangi kaum muslimin yang tidak seideologi. Karena dalam pandangannya, hakekat perang tersebut adalah jihad di jalan Allah demi menegakkan agama-Nya . Sikap ekstrim tersebut mendapat kecaman dari berbagai kalangan ulama, baik yang menentang maupun yang mendukung dakwahnya secara umum.

 


 

B.     KASYFU ASY SYUBHAAT DAN DOKTRIN TAKFIR

      Kitab “Kasyfu asy Syubhaat” adalah salah satu kitab Ibnu Abdil Wahab yang sangat gamblang menjelaskan kerangka berpikirnya. Meskipun kitab ini sangat kecil, namun berisi detail mengenai doktrin ideologi IAW kepada para pengikutnya. Secara global buku ini didiktekan kepada para pengikutnya agar mereka memahami sifat-sifat kaum musyrikin dan sifat-sifat kaum muslimin menurut versinya sendiri. Dalam buku ini ia berusaha mensejajarkan kaum muslimin yang mengamalkan tabarruk, tawasul dan sejenisnya dengan kaum musyrikin di era Nabi saw.. Pensejajaran ini merupakan langkah awal untuk menghalalkan darah dan harta kaum muslimin, sebagaimana halalnya darah dan harta kaum musyrikin yang menentang dakwah Nabi saw.. Oleh karena itu, IAW tidak segan-segan memakai jalur kekerasan atau perang untuk menyebarkan dakwahnya ini di kalangan kaum muslimin. Dalam permulaan kitab “Kasyfu Syubhaat” ini Ibnu Abdil Wahab berkata: “Ketahuilah –semoga Allah merahmatimu- bahwa tauhid adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Itu adalah agama para rasul yang telah diutus oleh Allah kepada para hamba-Nya. Rasul pertama adalah Nuh a.s. yang telah Allah utus kepada kaumnya tatkala kaumnya ghuluww (berlebihan) pada kaum shalihin; Waddan, Suwa’an, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr”.[6]

 

      Pernyataan pembuka ini begitu sangat manis dan halus untuk dijadikan langkah awal takfir kaum muslimin yang berbeda ideologi, sebagaimana dalam statemen-statemen setelahnya. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa aktivitas seperti tabaruk, tawasul dan sejenisnya dalam pandangan IAW merupakan bentuk “ghuluww” kepada kaum shalihin. Bahkan ia menganggapnya sebagai bentuk ibadah kepada mereka. Oleh karenanya hal itu ia vonis sebagai sebuah kesyirikan. Terkait dengan statemen IAW di atas, ia berusaha memberikan sebuah doktrin perdana kepada para pengikutnya bahwa Nabi Nuh a.s. mendakwahkan tauhid kepada suatu kaum yang berbuat “ghuluww” kepada kaum shalihin. Dari doktrin perdana ini ia berharap tercipta sebuah gambaran yang sama di benak setiap pengikutnya bahwa keberadaanya di tengah kaum muslimin (yang tidak seideologi) saat itu sama persis dengan keberadaan Nuh a.s. di tengah kaum musyrikin di masanya. Jika harapan itu terwujud maka dengan sangat mudah sekali para pengikutnya dapat digerakkan untuk memerangi kaum muslimin yang tidak sepaham dengannya, karena kaum muslimin saat itu akan secara otomatis tervonis musyrik dan halal untuk diperangi.

 

C.    SEGI TIGA TAUHID; RUBUBIYYAH, ULUHIYYAH, ASMA` SIFAT

      Pengkafiran yang acap kali dilontarkan oleh Syekh Ibnu Abdil Wahab tidak terlepas dari klasifikasi tauhid yang ia terapkan. Klasifikasi tauhid menjadi tiga; rububiyyah, uluhiyyah dan asma` sifat, sebenarnya bukan merupakan ijtihad IAW. Akan tetapi ia hanya sekedar mengikuti apa yang telah digagas oleh Ibnu Taimiyah jauh hari sebelumnya. Bahkan ia bukanlah orang pertama yang mengikuti gagasan pembagian tauhid tersebut. Sebelumnya sudah ada Ibnu Qayyim yang bisa dikatakan adalah foto copy Ibnu Taimiyah karena hampir tidak ditemukan pendapatnya yang bertentangan dengan gurunya tersebut. Demikian juga, Ibnu Abil ‘Izz dalam syarah akidah tahawiyahnya.

 

      Dengan pembagian tauhid menjadi tiga ini, Ibnu Taimiyah sebagai bapak dari pembagian ini -yang selanjutkan diikuti oleh IAW- menyatakan bahwa kaum musyrikin Quraisy sebenarnya mengakui tauhid rububiyah, yaitu mengakui bahwa Allah adalah Sang Pencipta. Hal ia buktikan dengan beberapa ayat, seperti firman Allah swt. yang artinya, “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang pendusta dan sangat kafir (ingkar)”. (az Zumar: 3). Satu hal penting yang ingin ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah bahwa kaum musyrikin telah meyakini bahwa Allah sebagai Tuhan (Pencipta). Dengan demikian, dalam tataran ini kaum muslimin dan musyrikin tidak ada bedanya. Oleh sebab itu, kaum muslimin membutuhkan dua kriteria tauhid yang lain agar benar-benar bisa dikatakan telah masuk Islam. Kedua tauhid itu adalah tauhid uluhiyyah dan tauhid asma` sifat. Pendapat inilah yang pada gilirannya melahirkan sikap takfir terhadap kaum muslimin yang dipandang telah berbuat kesyirikan karena aktivitas tabaruk dan sejenisnya.

     

D.    WAHABI DAN KONSEP BID’AH

      Imam Abu Zahrah dalam tarikhnya ketika membicarakan aliran wahabiyyah beliau menyatakan dalam poin ke-7 bahwa aliran wahabiyah telah memperluas cakupan makna bid’ah. Perluasan makna bid’ah itu beliau katakan sebagai sebuah tindakan yang aneh. Hal ini memang sangat wajar ketika melihat berbagai pendapat yang dikeluarkan oleh kelompok ini. Bahkan tidak jarang beberapa pendapat yang menyalahi jumhur ulama. Satu kasus yang selama ini getol sekali diperangi oleh mereka adalah pembagian pengertian bid’ah menjadi dua; hasanah (baik) dan sayyi’ah (jelek). Mereka sangat alergi sekali dengan pembagian makna bid’ah ini. Padahal kalau kita mau me-rechek pemahaman ini secara seksama di beberapa literatur islam klasik, maka kita akan menemukan bahwa para pembesar umat ini baik salaf maupun khalaf seakan sepakat untuk membaginya menjadi dua atau bahkan lebih.

 

      Yang paling sangat mashur dalam pembagian bid’ah menjadi dua ini adalah Imam Syafii –rahimahullah-. Pendapat Imam Syafii ini dinukil oleh Imam Baihaqi dengan sanad muttasil dalam manaqib Syafii. Juga oleh Al Hafidz Ibnu Asakir dalam tabyinnya dan Imam Suyuthi dalam husnul maqsid . Pembagian yang dilakukan oleh Imam Syafii ini berlandaskan pada perkataan Sayyidina Umar r.a dalam permasalahan shalat tarawih berjama’ah . Pembagian pengertian seperti yang dipahami oleh Imam Syafii inipun banyak sekali dianut oleh jumhur ulama umat ini seperti Imam Al Ghazali, Ibnu Atsir , Al Hafidz Badruddin Al Aini , Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani , Imam Al Karmani.


 

BAB IV

PENUTUP

 

            Tidak dapat dipungkiri bahwasannya kewajiban melestarikan ajaran Islam adalah tugas setiap insan muslim. Akan tetapi proses penyampaian ajaran itu harus melalui cara yang benar dan sesuai dengan wasathiyyah (kemoderatan) Islam itu sendiri. Dalam sejarah Islam klasik, tervonisnya sekte Khawarij bukan lantaran meninggalkan ibadah. Akan tetapi justru mereka berlebihan (ekstrim) dalam memahami Islam itu sendiri, sehingga kran toleransi dan kemoderatan Islam nyaris ditutup rapat. Bahkan spirit takfir terdasyat dalam sejarah islam klasik diperankan oleh aliran Khawarij ini. Tentunya kita semua mengatahui betapa ngerinya vonis sesat yang disematkan kepada kaum Khawarij.

           

            Oleh sebab itu, para pengikut aliran wahabi seharusnya lebih kritis lagi dalam melihat pemahaman-pemahaman ektrim yang terkandung di dalam literatur-literatur wahabi, baik klasik maupun kontemporer. Demikian juga penulis tidak sepakat dengan ektrimisme yang juga diperagakan oleh sebagian kalangan sunni sehingga mengkafirkan aliran wahabi ini. Hal yang perlu kita yakini bersama bahwa Syekh Muhammad bin Abdil Wahab berpendapat dan berperilaku sedemikian rupa tidak lepas dari ijtihad beliau. Sepanjang pembacaan penulis, IAW tidak mempunyai kepentingan politis dalam dakwahnya melainkan hanya ingin membebaskan umat ini dari perbuatan yang ia anggap sebuah kesyirikan. Kewajiban kita sebagai generasi sekarang adalah belajar dari semangat IAW dalam menyerukan umat ini untuk kembali kepada Al Quran dan Sunnah dengan pemahaman salaf shaleh. Semangat ini tentunya harus terus menyala dalam sanubari setiap generasi muslim.


 

DAFTAR PUSTAKA



[1] Pendukung gerakan dakwah ini memilih untuk menyebut dirinya sebagai Salafi atau Muwahiddun yang berarti “satu Tuhan”

[2] Sekarang menjadi ibu kota Arab Saudi.

[3] Ad-Daulah Al Utsmaniyah, hal.375-376.

[4] Tarikh Najd; hal: 81.

[6]

About Thibburruhany

Hi, My Name is Hafeez. I am a webdesigner, blogspot developer and UI designer. I am a certified Themeforest top contributor and popular at JavaScript engineers. We have a team of professinal programmers, developers work together and make unique blogger templates.

#simplehipster

--

 

Ads

http://www.lifestory.cf/