LATAR
BELAKANG
Aliran
dalam Islam mulai tampak pada saat perang Siffin (37 H) khalifah 'Ali bin Abi
Thalib dengan Mu'awiyah. Pada saat tentara 'Ali dapat mendesak tentara
Mu'awiyah maka Mu'awiyah meminta diadakan perdamaian. Sebagian tentara 'Ali menyetujui
perdamaian ini, dan sebagian lagi menolaknya. Kelompok yang tidak setuju ini
akhirnya memisahkan diri dari 'Ali dan membentuk kelompok sendiri yang akhirnya
terkenal dengan nama Khawarij. Mereka menganggap Ali, Mu'awiyah dan orang-orang
yang menerima perdamaian ini telah berbuat salah (dosa besar) karenanya mereka
bukan mukmin lagi dan boleh dibunuh. Masalah dosa besar ini kemudian
menimbulkan 3 aliran teologi dalam Islam yaitu : Khawarij, Murji'ah dan
Mu'tazilah. Masalah kepemimpinan ini kemudian menyebabkan munculnya kelompok
yang menganggap yang berhak adalah 'Ali dan keturunannya (Syi'ah) dan kelompok
yang berseberangan dengannya (Ahlus Sunnah wal Jama'ah). Dan akibat pengaruh
agama lain dan filsasat pada umat Islam maka muncullah kelompok yang menyatakan
bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkendak dan perbuatannya (Qadariyyah)
dan kelompok yang berpendapat sebaliknya (Jabariyyah). Setelah itu banyak
bermunculan aliran-aliran baru dalam agama Islam.
Pada
pertengahan abad ke-11 H, kaum muslimin di Jazirah Arab dan seluruh dunia pada
umumnya digemparkan dengan munculnya sosok Muhammad bin ‘Abdul Wahab.
Pandangan-pandangan barunya telah mengusik tatanan ideologi kaum muslimin yang
mapan pada saat itu. Dalam dakwahnya, ia mengangkat jargon purifikasi
(pemurnian) akidah dari segala hal yang ia pandang telang menyimpang dari
aturan-aturan agama. Seperti pada contohnya di masa itu kaum muslimin memiliki
tradisi untuk mengunjungi makam-makam pejuang Islam terdahulu. Gerakan dakwah
yang dipelopori oleh Ibnu Abdul Wahab dalam dunia Islam dikenal dengan sebutan
Wahabi[1].
Semenjak pertama kali muncul, dakwah ini selalu menjadi momok bagi sebagian
besar kaum muslimin. Pandangan keagamaannya yang kaku dan kurang bisa
berkompromi dengan perbedaan menjadikan Ibnu Abdul Wahab sebagai “common enemy” bagi berbagai mazhab yang
berkembang dalam Islam. Namun, biar bagaimanapun gerakan dakwah ini masih
sangat eksis hingga hari ini.
BAB
I
PENDAHULUAN
Wahabi
Salafi adalah suatu aliran yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab yang dilahirkan
pada 1115 H/1701 M. Muhammad bin Abdul Wahab kemudian disebut sebagai pembaharu
(mujaddid) dan melakukan pergerakan
yang mengklaim sebagai pemurnian akidah. Ia juga menulis puluhan makalah dan
kitab yang sebagian mendapat syarahan dari pengikutnya. Dalam satu kitabnya
berjudul Kasfu Subhat, Muhammad
membagi tauhid menjadi tiga, yaitu tauhid Rububiyah, tauhid Uluhiyah, dan
tauhid Asma’ was Shifat. Pembagian ini juga diklaim berpedoman kepada al-Quran.
Pembagian
dan membedakan tauhid Rububiyah (Rab) dan Uluhiyah (Ilah) telah menimbulkan
pernyataan bahwa semua orang-orang murtad, kafir dan orang-orang musyrik yang
mengakui Allah sebagai pencipta dan pengatur alam sama dengan orang-orang mukmin
dalam tauhid Rububiyyah. Seorang muslim yang melakukan ziarah kubur, tawwassul,
tabarruk, istighasah diklaim tidak bertauhid Uluhiyah karena ibadahnya tidak lagi
murni kepada Allah. Implikasinya kemudian adalah mengkafirkan atau memusyrikkan
orang-orang Islam yang melakukan beberapa ibadah ini. Meskipun perkara ini
sudah ada tuntunan dari Rasulullah, sahabat dan ulama salaf berdasarkan hasil
ijtihad. Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan bahwa: “Pengakuan mereka dengan
tauhid Rububiyah saja tidak tergolong mereka dalam Islam. Dan bahwa kasad
mereka akan Malaikat, Nabi dan aulia Allah yang mereka inginkan syafaat dan
dekat kepada Allah dengan demikian telah mengakibatkan halal darah dan harta
mereka.” (Kasfu Subhat, hal. 13).
Membicarakan
sosok Ibnu Abdul Wahab sebagai founding father-nya
Wahabi memang penuh kontroversi namun akan sangat relevan untuk kita diskusikan
bersama ketika berbicara dalam konteks negara Indonesia. Dalam beberapa dekade
belakangan, kontroversi Wahabi sedang marak menjadi perbincangan publik sebab
selain masifnya dakwah bil website
yang dilakukan oleh golongan ini, juga beberapa media massa sempat menyinggung
hubungan kaum Wahabi dengan jaringan terorisme. Namun disini penulis tidak akan
membahas hal tersebut lebih lanjut, penulis akan membicarakan tema Wahabi ini
dari sosok Ibnu Abdul Wahab, pemikiran dan gerakan dakwahnya. Karena meskipun
kontroversial, gagasan-gagasan dan gerakan Ibn Abdul Wahab memberikan warna dan
dampak yang kuat dalam perkembangan pemikiran Islam.
BAB
II
BIOGRAFI
MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB
A.
MASA
KECIL
Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin
Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin Barid bin
Musyarraf at Tamimi lahir pada tahun 1115 H/ 1703 M di daerah Uyainah yang merupakan
bagian dari Najd, terletak 70 km di utara Riyad[2].
Semenjak kecil ia belajar agama kepada para ulama yang berada di Makkah dan
Madinah serta ke beberapa daerah seperti Ihsa` dan Basrah.[3]
Menurut seorang ulama Wahabi Husain Ibnu
Ghunnam dalam kitabnya Tarikh Najd mengatakan bahwaMuhammad bin Abdul
Wahab sejak kecil sangat pintar dan cerdas. Sulaiman -saudaranya- meriwayatkan bahwa
ayah mereka memiliki firasat yang baik padanya, dan kagum dengan kecerdasan
anaknya tersebut. Bahkan dikatakan ayahnya banyak belajar hukum Islam kepada
anaknya yang masih kecil itu. Ayahnya pun menulis surat kepada saudaranya dan
menuturkan bahwa putranya ini telah dewasa (baligh) dan telah dijadikan imam
dalam shalat jama’ah bersama masyarakat. Ayahnya kemudian menikahkannya pada
umur 12 tahun –tidak lama setelah mencapai usia baligh-, lalu mengizinkannya
untuk menunaikan ibadah haji. Maka Muhammad bin Abdul Wahab kecil pun berangkat
haji bersama ayahnya. Setelah selesai melaksanakan ibadah haji, ayahnya kembali
ke Uyainah sementara Muhammad bin Abdul Wahab tetap tinggal di Mekah selama
beberapa waktu dan menimba ilmu di sana. Setelah itu, ia pergi ke Madinah untuk
untuk berziarah dan belajar agama berguru kepada ulama disana. Di Madinah, ia
berguru kepada dua orang ulama yaitu Syeikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif
an-Najdi dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi.[4]
B.
MASA
AWAL DAKWAH
Di Madinah, para ulama Makkah dan Madinah
saat itu menganggap bahwa banyak pernyataan-pernyataan yang dibawa Muhammad bin
Abdul Wahab bertentangan dan berlawan dengan ajaran ahlussunnah wal jama’ah. Tidak heran, bantahan dan sikap penolakan
atas ajaran yang ditawarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab inipun mengalir deras
dari para ulama Makkah dan Madinah saat itu, sampai akhirnya dia terusir ke
daerah Najd pada tahun 1142 H, dan di daerah inilah dia berusaha mengatur
siasat dakwah yang dia yakini (Lihat: Al
Maqâlât Al Wafiyyah Syekh Hasan Khazbik, hal: 128).[5]
Muhammad bin Abdul Wahhab pun mulai
menyebarkan ajarannya di Basrah setelah tidak diterima di Makah dan Madinah. Di
sana ia berbincang dengan beberapa ulama’ fuqaha’ lalu memberikan dan
menyatukan beberapa pandangan baru dan lama, akan tetapi dia justru dimarahi
dan diusir lagi. Dia pun mengungsi ke Mesir. Namun, keadaannya di Mesir pun
tidak berbeda dengan di tempat-tempat sebelumnya. Akhirnya ia pun diusir lagi
dan memutuskan pergi ke Syam. Lagi-lagi di Syam ia mengalami pengusiran serupa
maka ia kembali lagi ke Najed melarikan diri ke Uyainah tempat kelahirannya.
Saat itu Amir Uyainah yang bernama Ustman bin Mua’ammar sempat bersahabat dengannya
dan bahkan menikahkan anak perempuannya dengannya. Meski begitu, Amir Uyainahah
akhirnya mengusirnya dan terpaksa ia harus meninggalkan Uyainah. Muhammad bin
Abdul Wahab diusir oleh penduduk Uyainah karena sikap dan gagasan ekstrimnya
yang terus menerus menyebarkan pandangan barunya. Ia tidak segan-segan
mengkafirkan semua penduduknya, baik ulama’nya hingga kaum awamnya. Alhasil
penolakan terjadi dimana-mana bahkan dengan ayahnya sendiri terjadi
perselisihan hebat. Keadaan tersebut terus berlanjut hingga tahun 1153H/1740M,
saat ayahnya meninggal dunia.
Sejak ayahnya meninggal, Muhammad bin
Abdul Wahab serasa mendapat angin segar karena ia tidak lagi mendapat tantangan
dari orang terdekatnya yakni ayahnya. Ia pun tidak lagi terikat dan secara terang-terangan
bebas mengemukakan akidah-akidahnya sekehendak hatinya, menolak dan
mengesampingkan amalanamalan agama yang dilakukan umat Islam saat itu. Dia
mulai merencanakan strategi baru guna menyebarkan ajarannya dengan menyusun
sebuah gerakan atau barisan yang ia namakan ahli tauhid (Muwahhidin) yang
diyakininya sebagai gerakan yang memurnikan dan mengembalikan akidah Islam.
Oleh lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah.
Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah.
C.
GERAKAN
DAKWAH DI UYAINAH
Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang
Amir (penguasa) bernama Usman bin Muammar. Amir Usman menyambut ide dan gagasan
Muhammad ibn Abdil Wahhab dan berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan
tersebut meski mendapat penolakan dari penduduk setempat. Suatu ketika,
Muhammad bin Abdul Wahab meminta kepada Amir Usman untuk menghancurkan sebuah bangunan
yang dibuat di atas makam Zaid bin al-Khattab. Perlu diketahui, Zaid bin
al-Khattab adalah saudara kandung sahabat Umar bin al-Khattab, Khalifah
Rasulullah yang kedua. Menurut pandangannya membuat bangunan di atas kubur
dapat menjerumuskan umat kepada kemusyrikan. Amir Usman menjawab “Silakan…
tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi rencana yang mulia ini.” Tetapi
Muhamamd bin Abdul Wahab khawatir masalah itu kelak akan dihalang-halangi oleh
penduduk yang tinggal berdekatan dengan makam tersebut. Lalu Amir menyediakan
600 orang tentara untuk tujuan tersebut bersama-sama Muhammad ibn Abdil Wahhab merobohkan
makam suci itu. Makam itu kemudian dihancurkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab
atas bantuan Amir Uyainah, Usman bin Muammar.
Pergerakan Muhammad bin Abdul Wahhab tidak
berhenti sampai disitu, ia kemudian menghancurkan beberapa makam lain yang dipandangnya
berbahaya bagi ketauhidan. Hal ini menurutnya adalah untuk mencegah agar makam
tersebut tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam setempat. Sikap
dan tindakan ekstrim Muhammad bin Abdul Wahab terdengar luas sampai keluar
wilayah Uyainah dan tercium oleh pemerintah Ahsa. Mendengar berita tersebut,
pemerintah Ahsa memerintahkan Amir Uyainah untuk menghentikan kelakuan ekstrim
yang merusak yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab. Amir Uyainah kemudian
memanggil Muhammad bin Abdul Wahhab dan memerintahkannya untuk meninggalkan daerah
Uyainah. Muhammad bin Abdul Wahhab terpaksa mengungsi ke daerah lain dan dia
berhasil diusir oleh penduduk setempat karena dinilai ajarannya yang ekstrim
dan sesat. Tidak segan-segan dia mengkafirkan semua penduduknya, baik ulamanya
hingga kaum awamnya. (Lihat: Ad-Durar
as-Saniyah jilid 8 halaman 57) Muhammad bin `Abdul Wahab kemudian pergi ke
wilayah Dir’iyyah. Dari Dir’iya inilah ajaran Muhammad bin Abdul Wahab bak
menemukan telaga di tengah gurun pasir yang panas.
D.
GERAKAN
DAKWAH ABDUL WAHAB DIR’IYYAH
Sesampainya Muhammad bin Abdul Wahhab di
sebuah kampung wilayah Dir’iyyah yang tidak jauh dari tempat kediaman Amir
Muhammad bin Saud (penguasa Dir’iyyah), dia menemui seorang penduduk di kampung
itu, orang tersebut bernama Muhammad bin Suwailim al-`Uraini. Peraturan di
Dir’iyyah ketika itu mengharuskan setiap pendatang melaporkan diri kepada
penguasa setempat, maka pergilah Muhammad bin Suwailim menemui Amir Muhammad
bin Saud untuk melaporkan kedatangan Muhammad bin Abdul Wahab yang baru tiba
dari Uyainah untuk mendapat perlindungan dan dukungan.
Pertemuan Muhammad bin Abdul Wahhab dan
Ibnu Saud ini menjalinkan kesepakatan dan persetujuan untuk membentuk agama
baru secara resmi, di dalam ranah kekuatan politik, ketenteraan dan peperangan
pada 1165H / 1744M. Pertemuan tersebut dirasa sangat tepat, karena keduanya
saling membutuhkan; Ibnu Sa’ud membutuhkan agamawan untuk menguatkan basis
dukungan politiknya, sementara Ibnu Abdil Wahab membutuhkan penguasa untuk menjamin
proses penyebaran ideologinya (Lihat: Tarikh Ali Sa’ud, hal: 9.). Amir Ibnu
Saud yang kemudian menjadi pengikut dan pendukung penuh Muhamamd bin Abdul
Wahhab, memanfaatkannya untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Dia sendiri
sangat patuh pada perintah Muhammad bin Abdul Wahab. Jika disuruh untuk
membunuh atau merampas harta seseorang, dia segera melaksanakannya dengan
keyakinan bahwa kaum muslimin telah kafir dan syirik selama 600 tahun lebih,
dan membunuh orang musyrik dijamin surga.
Sejak saat itu, Dir’iyyah telah menjadi
penyebaran ajaran Muhammad ibn Abdil Wahhab. Para pengikutnya pun terus
bertambah berkat dukungan politik kekuasan Amir Ibnu Saud, bahkan sampai di
seluruh pelosok Dir’iyyah. Setelah mendapat cukup dukungan dan kekuasaan,
Muhammad bin Abdul Wahhab mulai melancarkan serangan bersama pengikutnya
barisan Muwahidin dan dia namakan sebagai jihad. Dia pun menulis surat-surat ajakannya
kepada tokoh-tokoh tertentu untuk bergabung dengan gerakan barisan Muwahhidin
yang dipimpin oleh dia sendiri. Menurutnya, pergerakan ini merupakan
pembaharuan tauhid demi membasmi syirik, bidah dan khurafat di negeri mereka
masing-masing. Untuk langkah awal pergerakan itu, dia memulai di negeri Najed.
Ia pun mula mengirimkan surat-suratnya kepada ulama-ulama dan penguasa-penguasa
di sana.
BAB
III
PEMIKIRAN
MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB
A.
SPIRIT
“TAKFIR” IBNU ABDIL WAHAB; (Statemen “Takfiri” dalam Kitab Dan
Risalahnya)
Nampaknya Ibnu Abdil Wahab terlalu
berlebihan dalam mewujudkan keinginannya untuk melakukan purifikasi tauhid
dalam setiap ritme dakwahnya. Hal ini menyebabkan adanya pengkafiran terhadap
kaum muslimin secara besar-besaran yang dengan sengaja maupun tidak telah ia lakukan
dalam beberapa kitab dan risalahnya. Sikap takfiri (suka mengkafirkan)
merupakan sikap paling mashur yang disematkan para ulama kepada IAW. Oleh
karenanya, sebagian ulama menyamakan kelompok wahabi dengan kelompok Khawarij
yang terkenal suka mengkafirkan di era sahabat.
Vonis takfir merupakan legalisasi awal bagi
para pengikutnya untuk membantai kaum muslimin yang tidak sepaham dalam banyak
peperangan yang terjadi antara kelompok wahabi dengan kaum muslimin. Takfir dan
perang ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan dan menjadi pilihan
IAW dalam menyebarkan ideologinya. Hal ini sangat kentara jika kita membaca
pesan-pesannya dalam beberapa tulisannya, seperti Al Qawaaid Al Arba’ah, Kasyfu Asy Syubhat, Kitab Tauhid dan
lain-lain. Dalam kitabkitabnya tersebut, setiap kali ia selesai mensejajarkan
identitas kaum muslimin (non-wahabi) dengan kaum musyrikin di zaman Nabi, ia
senantiasa menutupnya dengan informasi bahwa Nabi SAW. memerangi kaum musyrikin
tersebut. Hal ini untuk mendoktrin para pengikutnya agar tidak gentar untuk
memerangi kaum muslimin yang tidak seideologi. Karena dalam pandangannya,
hakekat perang tersebut adalah jihad di jalan Allah demi menegakkan agama-Nya .
Sikap ekstrim tersebut mendapat kecaman dari berbagai kalangan ulama, baik yang
menentang maupun yang mendukung dakwahnya secara umum.
B. KASYFU
ASY SYUBHAAT DAN DOKTRIN TAKFIR
Kitab “Kasyfu asy Syubhaat” adalah salah
satu kitab Ibnu Abdil Wahab yang sangat gamblang menjelaskan kerangka
berpikirnya. Meskipun kitab ini sangat kecil, namun berisi detail mengenai
doktrin ideologi IAW kepada para pengikutnya. Secara global buku ini didiktekan
kepada para pengikutnya agar mereka memahami sifat-sifat kaum musyrikin dan
sifat-sifat kaum muslimin menurut versinya sendiri. Dalam buku ini ia berusaha
mensejajarkan kaum muslimin yang mengamalkan tabarruk, tawasul dan sejenisnya
dengan kaum musyrikin di era Nabi saw.. Pensejajaran ini merupakan langkah awal
untuk menghalalkan darah dan harta kaum muslimin, sebagaimana halalnya darah
dan harta kaum musyrikin yang menentang dakwah Nabi saw.. Oleh karena itu, IAW
tidak segan-segan memakai jalur kekerasan atau perang untuk menyebarkan
dakwahnya ini di kalangan kaum muslimin. Dalam permulaan kitab “Kasyfu
Syubhaat” ini Ibnu Abdil Wahab berkata: “Ketahuilah –semoga Allah
merahmatimu- bahwa tauhid adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Itu
adalah agama para rasul yang telah diutus oleh Allah kepada para hamba-Nya.
Rasul pertama adalah Nuh a.s. yang telah Allah utus kepada kaumnya tatkala
kaumnya ghuluww (berlebihan) pada kaum shalihin; Waddan, Suwa’an,
Yaghuts, Ya’uq dan Nasr”.[6]
Pernyataan pembuka ini begitu sangat manis
dan halus untuk dijadikan langkah awal takfir kaum muslimin yang berbeda
ideologi, sebagaimana dalam statemen-statemen setelahnya. Sebagaimana telah
disinggung sebelumnya bahwa aktivitas seperti tabaruk, tawasul dan sejenisnya
dalam pandangan IAW merupakan bentuk “ghuluww” kepada kaum shalihin. Bahkan
ia menganggapnya sebagai bentuk ibadah kepada mereka. Oleh karenanya hal itu ia
vonis sebagai sebuah kesyirikan. Terkait dengan statemen IAW di atas, ia
berusaha memberikan sebuah doktrin perdana kepada para pengikutnya bahwa Nabi
Nuh a.s. mendakwahkan tauhid kepada suatu kaum yang berbuat “ghuluww” kepada
kaum shalihin. Dari doktrin perdana ini ia berharap tercipta sebuah gambaran
yang sama di benak setiap pengikutnya bahwa keberadaanya di tengah kaum
muslimin (yang tidak seideologi) saat itu sama persis dengan keberadaan Nuh
a.s. di tengah kaum musyrikin di masanya. Jika harapan itu terwujud maka dengan
sangat mudah sekali para pengikutnya dapat digerakkan untuk memerangi kaum
muslimin yang tidak sepaham dengannya, karena kaum muslimin saat itu akan
secara otomatis tervonis musyrik dan halal untuk diperangi.
C. SEGI
TIGA TAUHID; RUBUBIYYAH, ULUHIYYAH, ASMA` SIFAT
Pengkafiran yang acap kali dilontarkan oleh Syekh
Ibnu Abdil Wahab tidak terlepas dari klasifikasi tauhid yang ia terapkan.
Klasifikasi tauhid menjadi tiga; rububiyyah, uluhiyyah dan asma` sifat,
sebenarnya bukan merupakan ijtihad IAW. Akan tetapi ia hanya sekedar mengikuti
apa yang telah digagas oleh Ibnu Taimiyah jauh hari sebelumnya. Bahkan ia
bukanlah orang pertama yang mengikuti gagasan pembagian tauhid tersebut.
Sebelumnya sudah ada Ibnu Qayyim yang bisa dikatakan adalah foto copy Ibnu
Taimiyah karena hampir tidak ditemukan pendapatnya yang bertentangan dengan
gurunya tersebut. Demikian juga, Ibnu Abil ‘Izz dalam syarah akidah
tahawiyahnya.
Dengan pembagian tauhid menjadi tiga ini,
Ibnu Taimiyah sebagai bapak dari pembagian ini -yang selanjutkan diikuti oleh
IAW- menyatakan bahwa kaum musyrikin Quraisy sebenarnya mengakui tauhid
rububiyah, yaitu mengakui bahwa Allah adalah Sang Pencipta. Hal ia buktikan
dengan beberapa ayat, seperti firman Allah swt. yang artinya, “Kami tidak
menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di
antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang pendusta dan sangat kafir
(ingkar)”. (az Zumar: 3). Satu hal penting yang ingin ditegaskan oleh Ibnu
Taimiyah bahwa kaum musyrikin telah meyakini bahwa Allah sebagai Tuhan
(Pencipta). Dengan demikian, dalam tataran ini kaum muslimin dan musyrikin
tidak ada bedanya. Oleh sebab itu, kaum muslimin membutuhkan dua kriteria
tauhid yang lain agar benar-benar bisa dikatakan telah masuk Islam. Kedua
tauhid itu adalah tauhid uluhiyyah dan tauhid asma` sifat. Pendapat
inilah yang pada gilirannya melahirkan sikap takfir terhadap kaum muslimin yang
dipandang telah berbuat kesyirikan karena aktivitas tabaruk dan sejenisnya.
D. WAHABI
DAN KONSEP BID’AH
Imam Abu
Zahrah dalam tarikhnya ketika membicarakan aliran wahabiyyah beliau menyatakan dalam
poin ke-7 bahwa aliran wahabiyah telah memperluas cakupan makna bid’ah.
Perluasan makna bid’ah itu beliau katakan sebagai sebuah tindakan yang aneh. Hal
ini memang sangat wajar ketika melihat berbagai pendapat yang dikeluarkan oleh kelompok
ini. Bahkan tidak jarang beberapa pendapat yang menyalahi jumhur ulama. Satu
kasus yang selama ini getol sekali diperangi oleh mereka adalah pembagian
pengertian bid’ah menjadi dua; hasanah (baik) dan sayyi’ah (jelek). Mereka
sangat alergi sekali dengan pembagian makna bid’ah ini. Padahal kalau kita mau
me-rechek pemahaman ini secara seksama di beberapa literatur islam
klasik, maka kita akan menemukan bahwa para pembesar umat ini baik salaf maupun
khalaf seakan sepakat untuk membaginya menjadi dua atau bahkan lebih.
Yang
paling sangat mashur dalam pembagian bid’ah menjadi dua ini adalah Imam Syafii –rahimahullah-.
Pendapat Imam Syafii ini dinukil oleh Imam Baihaqi dengan sanad muttasil dalam
manaqib Syafii. Juga oleh Al Hafidz Ibnu Asakir dalam tabyinnya dan Imam
Suyuthi dalam husnul maqsid . Pembagian yang dilakukan oleh Imam Syafii ini
berlandaskan pada perkataan Sayyidina Umar r.a dalam permasalahan shalat
tarawih berjama’ah . Pembagian pengertian seperti yang dipahami oleh Imam Syafii
inipun banyak sekali dianut oleh jumhur ulama umat ini seperti Imam Al Ghazali,
Ibnu Atsir , Al Hafidz Badruddin Al Aini , Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani ,
Imam Al Karmani.
BAB IV
PENUTUP
Tidak dapat dipungkiri bahwasannya
kewajiban melestarikan ajaran Islam adalah tugas setiap insan muslim. Akan
tetapi proses penyampaian ajaran itu harus melalui cara yang benar dan sesuai
dengan wasathiyyah (kemoderatan) Islam itu sendiri. Dalam sejarah Islam
klasik, tervonisnya sekte Khawarij bukan lantaran meninggalkan ibadah. Akan
tetapi justru mereka berlebihan (ekstrim) dalam memahami Islam itu sendiri,
sehingga kran toleransi dan kemoderatan Islam nyaris ditutup rapat. Bahkan
spirit takfir terdasyat dalam sejarah islam klasik diperankan oleh aliran
Khawarij ini. Tentunya kita semua mengatahui betapa ngerinya vonis sesat yang disematkan
kepada kaum Khawarij.
Oleh sebab itu, para pengikut aliran
wahabi seharusnya lebih kritis lagi dalam melihat pemahaman-pemahaman ektrim
yang terkandung di dalam literatur-literatur wahabi, baik klasik maupun
kontemporer. Demikian juga penulis tidak sepakat dengan ektrimisme yang juga
diperagakan oleh sebagian kalangan sunni sehingga mengkafirkan aliran wahabi
ini. Hal yang perlu kita yakini bersama bahwa Syekh Muhammad bin Abdil Wahab
berpendapat dan berperilaku sedemikian rupa tidak lepas dari ijtihad beliau.
Sepanjang pembacaan penulis, IAW tidak mempunyai kepentingan politis dalam
dakwahnya melainkan hanya ingin membebaskan umat ini dari perbuatan yang ia anggap
sebuah kesyirikan. Kewajiban kita sebagai generasi sekarang adalah belajar dari
semangat IAW dalam menyerukan umat ini untuk kembali kepada Al Quran dan Sunnah
dengan pemahaman salaf shaleh. Semangat ini tentunya harus terus menyala dalam
sanubari setiap generasi muslim.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Pendukung gerakan dakwah ini memilih untuk menyebut dirinya sebagai Salafi atau Muwahiddun yang berarti “satu Tuhan”
[2] Sekarang menjadi ibu kota Arab Saudi.
[3] Ad-Daulah Al Utsmaniyah, hal.375-376.
[4] Tarikh Najd; hal: 81.
[5] http://www.elhooda.net/2013/10/biografi-lengkap-asy-syaikh-muhammad-bin-abdul-wahhab-dari-lahir-wafat/ diakses pada 8 November 2015
About Thibburruhany
Hi, My Name is Hafeez. I am a webdesigner, blogspot developer and UI designer. I am a certified Themeforest top contributor and popular at JavaScript engineers. We have a team of professinal programmers, developers work together and make unique blogger templates.