Subscribe & Follow

Rabu, 13 Januari 2016

Tag:

Mei dan Rintik Hujan di Gereja Loji (Cerpen)


Gerimis hujan yang turun sejak pagi tadi membuat hampir sebagian mantelku basah kuyup. Aku sebenarnya bisa saja membawa Opel Kadettku agar tidak kehujanan. Ah, tapi jarak dari tempatku bekerja tidak begitu jauh dari distrik Cina. Selain itu juga akan sangat menyusahkan jika melewati kawasan Wijkertelsel1, terlalu banyak pemeriksaan di setiap pos jaga. Hanya delman dan roda gigi Gazelle yang bebas keluar masuk.

Bersebelahan dengan toko emas Djoen, tabib Koh I Noor membuka praktek pengobatan gigi. Ia tinggal berdua di rumah toko bersama anaknya, Mei, perempuan muda yang manis. Berkulit kuning langsat dan rambut ikal mayang yang selalu diikat menjadi dua bagian. Meski sebenarnya aku tidak pernah memiliki masalah dengan gigi. Hampir dua minggu sekali aku rutin mendatangi rumah toko Koh I Noor. Aku hanya ingin melihat Mei dan rona merah di pipinya.

“Mei, apakah Koh I Noor ada?”

“Tunggu sebentar Thomas, mungkin Babah sedang tidur. Akan aku bangunkan.”

“Tidak usah Mei. Biarkan dia tidur, gerimis memang selalu membawa kantuk.”

“Kau yakin Thomas?”

“Ya. Boleh aku minta kue bantalnya?”

“Tentu saja.”

“Apakah kamu ada acara malam ini Mei?”

“Tidak. Ada apa Thomas?”

“Nanti malam akan ada perayaan hari perkawinan Tuan dan Nyonya Vattier- Kraane di Grand Hotel. Maukah kamu datang ke pesta dansa denganku?”

Nampak tanda merah muncul di pipi kuning Mei. Ia tersipu malu.

“Bisakah kau sembunyikan tanda merah di pipimu Mei ?”

“Apa ada yang aneh Thomas?”

“Tidak, hanya saja, kau terlihat lebih manis dari biasanya ketika tersipu”

“Apakah semua orang Belanda disini pandai merayu sepertimu Thomas?”

Pesta dansa Tuan dan Nyonya Vattier-Kraane digelar begitu meriah dengan diundangnya kelompok musik Krontjong Moritsko sebagai penghibur utama. Kamar bola di Grand Hotel disulap menjadi lautan manusia. Wajar saja. Sebagai seorang kepala di The Dutch Governor’s Residence, Tuan Vattier-Kraane memiliki banyak kolega dari kalangan pejabat pemerintahan Belanda.

“Thomas, apa tidak apa-apa jika aku ikut bersamamu?”

“Kamu bilang apa Mei ? Tentu saja tidak apa-apa. Kenapa?”

“Aku takut Thomas. Aku Cina,”

“Oh, ayolah Mei. Tenangkan dirimu. Tuan Vattier pasti terkejut dengan kedatanganku bersama seorang wanita yang terlihat lebih manis ketika tersipu”

“Bukan begitu Thomas,”

“Sudahlah Mei, percaya padaku. Aku dengar Tuan Vattier pandai merayu wanita muda. Oh, lihat kita sudah sampai.”

Aku mengerti kegelisahan hati Mei. Agak aneh memang jika orang-orang dari Distrik Cina bergaul dengan orang Belanda sepertiku. Kebanyakan orang-orang Belanda menganggap dirinya berada di kelas sosial yang tinggi di Indonesia. Orang-orang pribumi dan Cina hanyalah kelas-kelas buruh yang bahkan tidak lebih tinggi kedudukannya di bandingkan sepatu pantofel milik orang Belanda. Tapi siapa peduli?

“Wow ! Coba lihat siapa lelaki yang bersama dengan wanita ini ?”

“Hey Franz ! Oh Franz, perkenalkan ini Mei. Dan Mei perkenalkan ini sahabat lamaku di Algemeene Middelbare School di Surakarta. Bagaimana kabarmu Franz ?” 

“Oh ayolah kawan. Jangan tanyakan kabar padaku. Aku lebih tertarik jika kau bercerita tentang teman wanitamu ini.”

“Yang satu ini milikku Franz. Jangan rayu dia !”

“Bukankah dia terlalu cantik untuk seorang pelacur Thomas ?”

Jika yang berbicara dihadapanku ini bukan sahabat lamaku mungkin gelas sampagne ditanganku akan pecah di kepala Franz. Kebetulan. Dengan terburu-buru, Mei menarikku pergi keluar ruangan.

“Aku minta maaf Mei, soal Franz.”

“Sudahlah Thomas. Aku tahu seharusnya aku tidak datang ke Grand Hotel.”

“Tidak Mei.”

“Aku sudah bilang padamu Thomas. Aku cina!”

“Mei, berhentilah berkata bahwa kamu cina. Karena aku tidak peduli!”

“Oh ya? Lalu bagaimana dengan teman-temanmu lainnya! Kalian orang-orang Belanda memalukan! Apa kalian selalu melihat perempuan cina dan pribumi seperti kawanan pelacur yang telanjang dan menari-nari didepan kemaluan kalian?!”

“Mei ! Aku tidak mengerti ucapanmu !”

Kubiarkan Mei menangis. Aku mulai jenuh dengan ucapan Mei tentang orang-orang Belanda, Cina, dan pribumi. Aku tidak peduli dengan pembagian kelas. Oh, sudahlah. Aku benar-benar tidak ingin membicarakan hal-hal semacam ini. Dari benteng Vredeburg jalanan terlihat lengang sebab gerimis belum mereda sedari siang tadi.

“Thomas, bisakah kita akhiri semua ini ?”

“Mei ! Berhentilah !”

“Tidak Thomas, aku pikir kita harus benar-benar mengakhiri semua ini.”

“Mei !”

Kuhentikan mobil di depan gereja Loji Kecil. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku tidak percaya dengan ucapan Mei. Kuambil sepucuk Borchardt-Luger buatan Jerman dibawah kemudi. Terlambat. Dengan tergesa-gesa aku menarik pelatuk. 

DOR !! DOR !!

Dalam sekejap waktu terasa melambat, kurasakan sesuatu membuncah keluar dan perlahan membanjiri setelan jas terbaik yang aku kenakan khusus untuk menemani Mei di pesta dansa. Dalam keadaan sadar dan tidak sadar aku melihat Mei dan rintik hujan di gereja loji malam itu.

Aku malu menjadi Belanda. Mei.

Malioboro, Maret 2015
*link download PDF : klik disini

About Thibburruhany

Hi, My Name is Hafeez. I am a webdesigner, blogspot developer and UI designer. I am a certified Themeforest top contributor and popular at JavaScript engineers. We have a team of professinal programmers, developers work together and make unique blogger templates.

#simplehipster

--

 

Ads

http://www.lifestory.cf/